“Dalam AD, jelas bahwa Rais Syuriah merupakan lembaga yang tertinggi dan berwenang mengendalikan kebijakan umum,” kata Gus Imron, sapaan akrab KH Imron Risyadi Hamid berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Karena belum ada mekanisme arbitrase apabila ada masalah antara Rais Syuriah dan Tanfidziyah, jelas ia, maka keputusan dikembalikan pada aturan yang lebih tinggi, yaitu AD.
Baca juga: Panitia Muktamar NU kebut kesiapan infrastruktur dan internet
Gus Imron pun menjelaskan sejak berdiri hingga sekarang, NU merupakan lembaga milik ulama, bukan seperti partai. Dalam hierarki kepemimpinan NU, lanjut ia, posisi tertinggi adalah Rais Syuriah. Sementara posisi Tanfidziyah, lembaga tersebut merupakan pelaksana kebijakan yang diambil Rais Syuriah.
Dengan demikian, ujar Gus Imron, dalam sejarah NU, tidak ada fungsi kesetaraan di antara Tanfidziyah dan Syuriah.
Ia juga mengatakan bahwa penetapan waktu penyelenggaraan muktamar dalam surat perintah itu berkonteks permintaan internal kepada panitia.
"Dalam konteks muktamar, surat perintah yang dikeluarkan Rais Aam PBNU sebenarnya konteksnya internal yang meminta panitia untuk melaksanakan muktamar pada 17 (Desember 2021),” jelas dia.
Lalu, ia menambahkan, terkait dasarnya, muktamar itu dibuat karena adanya kebijakan pemerintah menetapkan PPKM dari 23 Desember hingga 2 Januari 2022.
“Ini bersamaan dengan pelaksanaan muktamar. Artinya, perubahan tanggal pelaksanaan itu sudah keniscayaan,” ungkapnya.
Atas kondisi tersebut, tambah Gus Imron, pada 4 Desember dilakukan rapat antara Tanfidziyah, Sekjen PBNU, Rais Aam, dan Khatib Aam. Namun, rapat berakhir dengan kebuntuan atau deadlock. Kemudian sayangnya, lanjut Gus Imron, belum ada mekanisme arbritase apabila terjadi persengketaan antara Rais Syuriah dan Tanfidziyah dalam memutus sebuah perkara.
“Karena belum diatur, maka seharusnya kembali ke aturan yang lebih tinggi, yaitu anggaran dasar. Dalam anggaran dasar jelas bahwa pemimpin tertinggi adalah Rais Syuriah,” ungkapnya.
Langkah Rais Aam KH Miftachul Akhyar yang menyurati dan memerintahkan panitia muktamar, menurut Gus Imron, dibenarkan oleh AD.
Hal lain yang menjadi pertimbangan Muktamar PBNU digeser tidak di 2022, tambah dia, adalah Konferensi Besar (Konbes) NU tahun 2020 dan Konbes NU 2021 sama-sama meminta pelaksanaan Muktamar PBNU dilaksanakan pada 2021.
“Mandat kepengurusan Muktamar PBNU Jombang itu juga hanya sampai Agustus 2020. Ini sudah terlambat setahun lebih,” jelas Gus Imron.
Ia juga menekankan keputusan memajukan pelaksanaan muktamar menjadi 17 Desember 2021 juga memiliki arti penting. Artinya, ada kepastian belum ditetapkan PPKM COVID-19.
“Kalau Januari tidak ada jaminan. Kalau ada kenaikan kasus COVID-19, kita harus nunggu kapan lagi?” ujar dia.
Baca juga: 27 PWNU dukung Rais Aam dan tegaskan siap muktamar 17 Desember
Baca juga: Generasi muda NU dorong muktamar rumuskan penyiapan aktor perubahan
Baca juga: Muktamar Nahdlatul Ulama cermin hubungan baik ulama dan umara
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021