• Beranda
  • Berita
  • Saham Asia merosot, delisting Didi hidupkan lagi kekhawatiran AS-China

Saham Asia merosot, delisting Didi hidupkan lagi kekhawatiran AS-China

3 Desember 2021 10:41 WIB
Saham Asia merosot, delisting Didi hidupkan lagi kekhawatiran AS-China
Ilustrasi - Seorang pria melihat papan kutipan elektronik yang menunjukkan rata-rata pasar saham Nikkei Tokyo, Jepang. ANTARA/REUTERS/Toru Hanai/aa.

The Fed tidak mengabaikan ancaman dari Omicron, tetapi memilih untuk tidak membiarkannya menunda respons kebijakan yang menunjukkan banyak prospek lebih normal

Saham-saham Asia merosot pada perdagangan Jumat pagi, setelah raksasa flatform transportasi daring China Didi mengatakan akan delisting (menghapus pencatatan) di New York, memperbarui kekhawatiran tentang ketegangan AS-China dan regulasi teknologi.

Indeks berjangka S&P 500 merosot sekitar 0,5 persen. Indeks Hang Seng Hong Kong jatuh 1,3 persen, terseret oleh saham-saham teknologi besar. Indeks MSCI untuk saham Asia di luar Jepang melemah 0,7 persen.

Dolar Australia yang sensitif terhadap risiko turun 0,3 persen dan tepat di bawah 71 sen mendekati level terendah satu tahun.

Didi bertabrakan dengan regulator China dengan mendorong IPO AS senilai 4,4 miliar dolar AS pada Juli dan mengatakan di media sosial Weibo bahwa mereka ingin memindahkan listing-nya ke Hong Kong.

"Delisting mulai terjadi memberikan beberapa kegelisahan atas ketidakpastian tentang bagaimana hal ini berdampak pada gambaran AS-China yang lebih luas," kata Analis Bank of Singapore, Moh Siong Sim.

Berita tentang Didi muncul sehari setelah perusahaan transportasi dan pengiriman Grab yang berbasis di Singapura jatuh lebih dari 20 persen pada debutnya di Nasdaq. Pencatatan tersebut adalah yang terbesar di Wall Street oleh sebuah perusahaan Asia Tenggara.

Secara lebih luas pasar telah bergerak  sedikit berita keras tentang Omicron minggu ini, mendorong indeks volatilitas CBOE menuju lompatan satu minggu terbesar sejak kekacauan pandemi Februari 2020. Imbal hasil jangka pendek juga melonjak karena investor bertaruh pada suku bunga yang lebih tinggi, bahkan dengan ketidakpastian Omicron.

Baca juga: Harga emas di jalur penurunan mingguan beruntun, di tengah hawkish Fed

Pedagang harus menunggu setidaknya satu minggu lagi untuk membaca lebih awal tentang virulensi varian atau resistensi vaksin. Data tenaga kerja AS yang akan dirilis pada Jumat juga menjadi fokus sebagai panduan untuk suku bunga.

Sementara itu minyak menuju penurunan mingguan keenam berturut-turut karena kekhawatiran Omicron dan kenaikan suku bunga.

Minyak mentah berjangka Brent berakhir lebih tinggi semalam di 69,67 dolar AS per barel, tetapi telah turun lebih dari 3,0 persen minggu ini dan turun lebih dari 18 persen dari tertinggi tiga tahun Oktober.

Sejauh ini dengan tidak adanya rincian Omicron, beberapa pemerintah tetap berusaha untuk menutup perbatasan. Tetapi pembuat kebijakan lainnya - terutama Federal Reserve (Fed)- dengan hati-hati melanjutkan rencana untuk menjauh dari tanggapan mode krisis.

Ketua Fed Jerome Powell mengatakan para pejabat bank sentral akan berbicara tentang penarikan yang lebih cepat untuk pembelian obligasi pada pertemuan bulan ini dan berhenti menggambarkan inflasi sebagai sementara. Kartel minyak OPEC akan melanjutkan dengan rencana peningkatan produksi.

"The Fed tidak mengabaikan ancaman dari Omicron, tetapi memilih untuk tidak membiarkannya menunda respons kebijakan yang menunjukkan banyak prospek lebih normal," kata Ahli Strategi Commonwealth Bank of Australia Tobin Gorey.

"OPEC+ telah melakukan hal serupa," tambahnya. "Keduanya tidak membekukan perubahan kebijakan yang direncanakan ... dan keduanya mungkin merupakan contoh yang menunjukkan respons penguncian terhadap lonjakan epidemi menjadi lebih kecil kemungkinannya."

Baca juga: Harga minyak naik di Asia, setelah OPEC+ akan tinjau tambahan pasokan

Tanggapan pasar obligasi terhadap pergeseran hawkish Powell adalah dengan mendongkrak suku bunga jangka pendek dan menekan suku bunga jangka panjang, dengan memperhitungkan bahwa kenaikan yang lebih cepat pada akhirnya akan membatasi inflasi dan pertumbuhan di masa depan, dan secara tajam meratakan kurva imbal hasil obligasi AS.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS dua tahun stabil di awal perdagangan Asia dengan kenaikan mingguan hampir 10 basis poin.

Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun yang jadi acuan telah turun hampir 6 basis poin menjadi 1,4291 persen minggu ini dan imbal hasil obligasi 30-tahun turun 7,3 basis poin menjadi 1,7545 persen.

"Inflasi, bukan pertumbuhan, yang membuat Fed mempercepat rencana pengetatan," kata Ahli Strategi Societe Generale, Kit Juckes, di London.

"Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, risiko siklus ekonomi AS ini adalah berakhir lebih cepat dari perkiraan konsensus," katanya, memperkirakan bahwa momentum kenaikan dolar AS dapat melambat ke puncaknya sekitar pertengahan tahun depan.

Investor menjual mata uang berisiko pada Jumat pagi. Dolar Australia dan Selandia Baru yang sensitif terhadap risiko masing-masing kehilangan sekitar 0,3 persen. Euro stabil di 1,1298 dolar AS dan yen menguat di 113,08 per dolar AS.

Baca juga: Dolar naik tipis di Asia, ditopang redanya kekhawatiran dampak Omicron

Baca juga: IHSG akhir pekan berpotensi menguat, ikuti kenaikan indeks Wall Street


 

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021