Kementerian Perindustrian berkomitmen mewujudkan kemandirian industri farmasi, salah satunya dengan mengimplementasikan program subtitusi impor industri sebesar 35 persen pada 2022.
“Sektor Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT) diharapkan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam lewat keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut Khayam, kebijakan substitusi impor memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing.
Pendekatan yang dilakukan dalam kebijakan substitusi impor dari sisi supply meliputi perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong untuk industri existing, peningkatan investasi baru, serta peningkatan utilisasi industri.
Baca juga: Kemenperin dan Surveyor Indonesia dukung industri farmasi Indonesia
Potensi industri farmasi, lanjut Khayam, salah satunya ditunjukkan dari kinerja industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang kimia yang tumbuh positif sebesar 9,71 persen (yoy) pada kuartal III tahun 2021.
Khayam menyampaikan, saat ini terdapat 223 perusahaan farmasi formulasi/produk jadi, terdiri dari empat perusahaan BUMN, yaitu PT Bio Farma Tbk (sebagai holding), PT Kimia Farma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT Phapros Tbk. Berikutnya, sebanyak 195 industri swasta nasional, serta 24 multinational company (MNC).
“Pasar farmasi Indonesia tahun 2019 sekitar Rp88,3 triliun, tumbuh 2,93 persen dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, 76-80 persen kebutuhan produk obat nasional sudah mampu dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri,” sebutnya.
Khayam menjelaskan, bahan baku pembuatan obat terdiri dari dua bagian, yaitu bahan baku aktif atau active pharmaceutical ingredients (API) dan bahan baku tambahan atau eksipien.
Baca juga: Kemenkes jamin penyerapan obat dengan TKDN tinggi
“Saat ini, kami bekerja keras untuk memacu investasi dan produksi dalam negeri guna menekan impor bahan baku obat,” tegasnya.
Hal tersebut menciptakan peluang besar untuk pendalaman struktur dan pengembangan industri bahan baku dan bahan tambahan bagi industri farmasi.
“Selain untuk memperkuat ketahanan industri farmasi nasional, sekaligus berkontribusi terhadap kebijakan substitusi impor,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Kemenperin berkomitmen untuk mendorong kemandirian industri farmasi sebagai sektor penting dalam menopang pembangunan kesehatan nasional melalui pengembangan industri bahan baku obat (BBO).
Selain itu, ditopang melalui implementasi program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka substitusi impor.
“Upaya substitusi impor diyakini dapat membantu menurunkan defisit neraca perdagangan Indonesia khususnya di sektor farmasi,” ujar Khayam.
Namun demikian, upaya mewujudkan kemandirian industri farmasi nasional melalui kemandirian industri BBO, membutuhkan kesamaan perspektif dari berbagai stakeholder terkait, antara perspektif ketahanan nasional dan perspektif ekonomi serta konsistensi kebijakan.
“Kebijakan yang komprehensif untuk mencapai fairness of level playing field dibutuhkan dalam menghadapi kompetitor dari produsen utama BBO di dunia. Diharapkan kebijakan pemerintah dapat meningkatkan feasibility ekonomi pada jangka pendek, dan kemudian peningkatan daya saing dalam jangka menengah panjang,” tandas Khayam.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021