"Menurut saya, PP 56/2021 sudah sesuai dengan kebutuhan untuk kondisi Industri Musik di Indonesia saat ini. Bahwa ada bagian yang belum sempurna, iya harus diakui," kata Adi Adrian dalam keterangannya pada Rabu.
Adi lantas menjelaskan bahwa ketidaksempurnaan PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021, tidak lantas membuat keinginan sejumlah musisi dan pencipta lagu, ingin membatalkan, apalagi menghapuskannya.
Baca juga: Anang Hermansyah desak pemerintah implementasikan aturan royalti
Baca juga: Kemenkumham akan buat pusat data lagu dan musik untuk transparansi
"Mengubah PP 56/2021 misalnya, akan berdampak pada banyak hal. Ujung-ujungnya akan menghambat pengelolaan royalti yang akhirnya akan merugikan para pencipta dan musisi itu sendiri," kata Adi Adrian, yang juga anggota PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia).
Pemain kibord band progresif Makara itu juga menyoroti soal kritik Indra Lesmana dan kawan-kawan atas keterlibatan swasta dalam membangun infrastruktur sistem pengelolaan royalti. Baginya, keterlibatan swasta dalam bentuk kerja sama Build Operate Transfer (BOT) sangat relevan.
"Sama halnya keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur di bidang lain."
Di negara lain dalam membangun dan mengelola sistem royalti, juga dilakukan oleh organisasi atau badan usaha swasta, kata dia.
"Tidak ada negara lain di dunia yang pembangunan sistem dan pengelolaan royalti dilakukan oleh negara," kata Adi yang juga menjelaskan kembali bahwa PP 56/2021 dan Permenkumhan 20/2022 dibuat untuk seluruh musisi dan pencipta lagu diseluruh pelosok negeri, bukan hanya untuk musisi dan pencipta lagu di Jakarta dan kota besar lainnya.
Sebelumnya, Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) yang terdiri dari Indra Lesmana, Endah Widiastuti, Eky Puradiredja, Cholil Mohamad, Once Mekel, Tompi, Eross Chandra dan Yovie Widianto menuntut pemerintah membatalkan PP Nomor 56 Tahun 2021 tanggal 30 Maret 2021, tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, dan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Tuntutan muncul setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dibentuk negara menggandeng pihak ketiga untuk pengumpulan royalti.
Hal tersebut dianggap AMPLI tidak transparan dan akuntabel.
Bahkan AMPLI juga mendorong pemerintah untuk membangun sendiri Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) Bersama Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham selaku regulator pengelolaan hak cipta.
"Mohon maaf, suara AMPLI tidak mewakili suara semua musisi dan pencipta lagu di Indonesia," pungkas Adi.
Baca juga: Spotify hapus konten sejumlah komedian karena masalah royalti
Baca juga: Musisi sebut tarif royalti musik di Indonesia sangat rendah
Baca juga: Pengusaha berharap mekanisme perhitungan royalti musik ditinjau ulang
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021