“Kami sudah memiliki ‘freezer’ tetapi hanya mampu menyimpan plasma selama maksimal enam bulan,” kata Humas PMI Kota Yogyakarta Munif Tauchid di Yogyakarta, Kamis.
Saat ini, PMI Kota Yogyakarta memiliki sekitar 200 kantong plasma konvalesen yang mendekati kedaluwarsa, sehingga untuk memperpanjang umur simpan dibutuhkan lemari pendingin dengan titik beku yang lebih rendah.
Baca juga: PMI Yogyakarta berencana tambah mesin plasma konvalesen
Semakin rendah titik beku lemari pendingin, lanjut dia, plasma bisa disimpan lebih lama, bisa satu tahun, bahkan bisa bertahan lima tahun.
“Jika sudah melewati umur simpan dan plasma tidak digunakan, yang harus kami lakukan adalah membuangnya karena dimungkinkan sudah terkontaminasi bakteri. Tentu sangat disayangkan jika kami terpaksa melakukannya,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, plasma yang masih tersimpan harus bisa diamankan dengan menambah umur simpan di freezer yang lebih dingin.
“Kami membutuhkan bantuan hibah jika ada organisasi, lembaga atau instansi pemerintah yang memiliki anggaran untuk hibah. Ini yang kami butuhkan,” katanya.
Saat ini, lanjut dia, permintaan plasma konvalesen sudah mengalami penurunan yang signifikan seiring dengan menurunnya kasus COVID-19 di DIY.
“Plasma yang tersimpan tidak bisa cepat terserap pasien karena jumlah pasien juga turun. Tetapi, kami sangat tidak berharap ada penambahan kasus akibat Omicron,” katanya.
Baca juga: PMI Yogyakarta intensif rekrut pendonor plasma konvalesen
Baca juga: Ratusan anak di Yogyakarta dididik PMI kesiapsiagaan hadapi bencana
Penurunan kasus terkonfirmasi COVID-19 di Kota Yogyakarta dan DIY juga mempengaruhi jumlah pendonor plasma konvalesen yang juga mengalami penurunan signifikan. Sedangkan untuk persediaan darah di PMI Kota Yogyakarta pada awal tahun tersedia dalam jumlah cukup.
“Dalam sebulan, kami bisa memenuhi kebutuhan sekitar 3.000 kantong darah. Pendonor yang datang juga cukup banyak. Rata-rata 100 orang per hari, sehingga kebutuhan darah terpenuhi untuk semua golongan darah,” katanya.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022