PLTS atap, antara tren dan kebutuhan

6 Januari 2022 21:06 WIB
PLTS atap, antara tren dan kebutuhan
Petugas melakukan perawatan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Pulau Sabira, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Kamis (17/6/2021). PLTS berkapasitas daya sebesar 400 kilo Watt peak (kWp) tersebut dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1.200 kWh per hari atau dapat memenuhi 50 persen konsumsi listrik harian masyarakat pulau yang berpenduduk sekitar 600 jiwa itu. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.
Saat ini banyak gedung di Ibu Kota memiliki solar panel pada bagian atap bangunan atau dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta merupakan salah satu yang akan menempatkan PLTS atap di seluruh gedung. Ini akan rampung pada tahun 2022.

Banyak faktor yang membuat instansi pemerintah maupun swasta menggunakan PLTS atap. Yang menjadi alasan utama adalah untuk menghemat penggunaan listrik.

Seperti diketahui, perkantoran lazimnya beroperasi pagi hingga sore. Sedangkan malam harinya penggunaan listrik yang besarannya
tinggal lima hingga sepuluh persen saja sehingga penggunaan PLTS atap membuat penghematan listrik secara signifikan.

Mengacu kepada data yang disampaikan Direktur Aneka Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Chrisnawan Anditya  pelanggan PLTS atap di Indonesia sudah mencapai 4.262 pelanggan.

Angka ini merupakan capaian yang sangat tinggi dibanding pertama kali Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) dicetuskan tahun 2018 yang baru mencapai 609 pelanggan.

Semakin tingginya minat masyarakat untuk menggunakan PLTS atap juga diakui Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional. Dia mengatakan, penggunaan PLTS atap naik secara signifikan dan ini menjadi tanda bahwa Indonesia mampu melakukan bauran energi 23 persen di tahun 2025.

Revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN menyatakan, ketentuan ekspor listrik dari pelanggan PLTS atap ke PLN menjadi 100 persen. Pada aturan sebelumnya ditentukan ekspor listrik hanya 65 persen.

Hal ini tentunya akan semakin mendorong kalangan industri, perkantoran dan perumahan untuk menggunakan PLTS atap karena mereka bisa menciptakan energi hijau sendiri. Apabila kelebihan energi, maka mereka bisa mengekspor listriknya ke PLN 100 persen.

Baca juga: PLTS sangat tepat untuk kawasan perumahan
Baca juga: PLN bangun tiga PLTS guna listriki lima desa di Mimika Papua
Ilustrasi - Instalasi panel surya yang terpasang di SPBU Pertamina. (ANTARA/HO-Pertamina)
Tanggap
Kebijakan pemanfaatan energi surya ini mendapat tanggapan positif dari perusahaan penyedia perangkat PLTS atap yang mulai bertumbuh di tengah pandemi.

Seiring dengan hal itu penting perlindungan konsumen/pengguna perangkat ini. Jangan sampai investasi yang ditanamkan untuk teknologi ini ternyata hasilnya tidak sesuai ekspektasi.

Pemasok atau produsen PLTS atap yang beroperasi di Indonesia sudah sepatutnya mengantongi SNI. Hal ini bertujuan agar pengguna perangkat PLTS atap terlindungi dan merasakan manfaat dalam jangka panjang.

Apabila masyarakat maupun pelaku usaha telah merasakan manfaat dari PLTS atap maka tidak tertutup kemungkinan yang semula teknologi ini hanya sebagai tren untuk bangunan premium maka kini menjadi kebutuhan.

Melihat fenomena ini, Satya Widya Yudha berharap teknologi PLTS atap ini dapat diserap masyarakat dan pelaku UMKM. Hadirnya teknologi ini diharapkan dapat menggerakkan ekonomi di masyarakat.

Harapannya masyarakat punya tabungan dari penggunaan listrik yang dihemat. Dengan demikian dana tersebut dapat dimanfaatkan keperluan lain yang membuat ekonomi kian bergerak.

Terkait hal itu salah satu produsen dari PLTS atap, Utomo SolaRUV melalui Managing Director Anthony Utomo menyatakan kesiapannya untuk memberi kemudahan dalam pemasangan teknologi ini.

Menurut dia, dengan semakin banyak yang memasang PLTS atap maka akan mendorong terciptanya energi hijau di Indonesia serta mengurangi energi fosil seperti batubara yang kurang ramah lingkungan.

Gerak cepat pemerintah dalam melihat peningkatan peminat PLTS atap diaktualisasikan dalam regulasi untuk menjamin kualitas mutu komponen-komponen pendukungnya.

Hal ini penting untuk menghindarkan masyarakat dari produk komponen PLTS atap "abal-abal" yang beredar di pasar seiring dengan tren penggunaan teknologi ini.

Pemerintah pun telah menerapkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin. Tanda Standar Nasional Indonesia (SNI) diharapkan meningkatkan kepercayaan diri konsumen ketika menggunakan komponen PLTS atap karena mendapat jaminan kualitas dan mutu.

Bukan hanya konsumen PLTS atap saja. Tanda SNI juga memberi angin segar bagi para wirausahawan untuk memanfaatkan peluang usaha PLTS atap.

Sebagai pelaku usaha, Anthony menegaskan, teknologinya telah memiliki SNI serta siap untuk diimplementasikan ke masyarakat, pelaku usaha maupun gedung-gedung pemerintah.

Baca juga: Anggota DEN Satya Yudha: Sudah ribuan pelanggan gunakan PLTS atap
Baca juga: Kementerian ESDM sebut potensi energi surya capai 3.294 GWp
Panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). ANTARA/HO-Utomo SolaRUV

Kemitraan
Seiring dengan bertambahnya konsumen PLTS atap, Anthony yang juga Wakil Ketua Komite Tetap Kebijakan dan Regulasi Bidang ESDM Kadin Indonesia mengatakan, saat ini produsen membuka program kemitraan.

Dengan program kemitraan ini terbuka bagi pelaku usaha yang ingin memiliki gerai (outlet) PLTS atap untuk dipasarkan kepada masyarakat.

Seorang pengurus Hipmi DKI Jakarta Ihsan Fadhlur Rahman mengatakan, dirinya telah menjadi mitra dalam memasarkan teknologi PLTS atap bahkan sudah memiliki tiga gerai.

Tiga gerai yang ditempatkan di Kota Tangerang Selatan (Banten), Jakarta Selatan dan Serpong, (Kabupaten Tangerang) diharapkan kian memudahkan masyarakat menjangkau energi bersih dengan harga terjangkau, mudah dan berkualitas, kata Ihsan.

Dengan program kemitraan ini akan memudahkan bagi masyarakat yang berminat memasang PLTS atap. Mengingat tidak semua masyarakat paham untuk mengkoneksikan PLTS atap dengan jaringan PLN yang sudah ada.

Lantas tak semua paham juga mengenai seberapa hemat penggunaan listrik serta bagaimana dengan biaya operasi dan pemeliharaannya.

Dengan hadirnya gerai atau "outlet" di kota-kota besar setidaknya masyarakat mendapat akses informasi mengenai manfaat menggunakan sistem sel surya secara komprehensif.

Tinggal masyarakat menghitung anggarannya apakah masuk dalam pendapatan mereka. Apakah biaya memasang PLTS di atap rumah sepadan dengan biaya listrik yang dapat dihemat setiap bulan.

Gotong-royong transisi energi harus dimulai sejak sekarang. Sebagai aktor penting dalam perubahan energi fosil ke energi ramah lingkungan, masyarakat harus mendapat jaminan kualitas melalui label SNI serta akses energi bersih merata.

PLTS atap diharapkan dapat membentuk kemandirian masyarakat karena mampu mengoptimalkan penghematan tagihan listrik berdasarkan kapasitas terpasang.

Dengan demikian kesadaran masyarakat akan bangkit dengan sendirinya apabila merasakan manfaat dari penggunaan teknologi tersebut. Di sini produsen PLTS atap diminta lebih kreatif untuk mengenalkan teknologi yang digunakan.
Baca juga: Kementerian ESDM bangun PLTS di puluhan pos jaga TNI
Baca juga: Itera raih penghargaan khusus BMN Awards Tahun 2021

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2022