Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai upaya untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) harus terus dilakukan.
Hal itu, menurut dia, agar tujuan memberi kepastian hukum dan melindungi korban tindak kekerasan seksual bisa terwujud dengan hadirnya UU TPKS.
"Sejumlah pihak memang belum sepenuhnya memahami secara utuh terkait pasal-pasal di RUU TPKS sehingga perlu ada upaya untuk memberi pemahaman kepada sejumlah pihak," kata Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Langkah strategis tugasi Baleg DPR bahas RUU TPKS
Dia mengatakan menjelang pelaksanaan Rapat Paripurna yang direncanakan Selasa (18/1) untuk memutuskan RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR RI, maka perlu dukungan pemahaman yang utuh dari anggota DPR.
Menurut dia, semangat anggota DPR memang menggebu-gebu untuk memasukkan sejumlah usulan pada RUU TPKS dalam menyikapi maraknya tindak kekerasan seksual di masyarakat.
"Bahkan sejumlah pihak berharap memasukkan aspek kesusilaan agar diatur dalam RUU TPKS. Padahal, RUU TPKS dirancang untuk melindungi korban dari aspek yang lebih luas lagi, yaitu aspek kemanusiaan," ujarnya.
Baca juga: MPR nilai perlu kesepahaman hadirkan aturan lindungi PRT
Lestari menilai meletakkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dapat mengakibatkan degradasi derajat tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian hanya meletakkan kejahatan kekerasan seksual sebagai kejahatan moralitas.
Padahal, menurut dia, Presiden Jokowi saat membuka sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, pada 10 Mei 2016, menyatakan kejahatan seksual yang marak terjadi sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani serius.
"Memasukkan norma-norma kesusilaan dalam RUU TPKS akan berdampak norma tersebut malah tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap korban sehingga berdampak pada melemahnya upaya penyelesaian secara hukum," katanya.
Baca juga: MPR: Perlu restorasi sejumlah kebijakan untuk transformasi politik
Apalagi, menurut Lestari, tindak pidana kesusilaan dalam doktrin hukum pidana termasuk delik personal atau delik subjektif sehingga tidak bisa diukur secara objektif seperti tindak pidana kekerasan seksual.
Dia menilai sejumlah isu yang belum mendapat pemahaman utuh dari sejumlah pihak diharapkan segera disampaikan dengan argumen-argumen yang mudah dipahami.
Hal itu, katanya, agar perangkat hukum benar-benar memberi kepastian hukum dalam mencegah, melindungi, merehabilitasi korban.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022