Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa rokok menjadi salah satu faktor risiko penting yang menyebabkan Indonesia menduduki peringkat ke-108 negara dengan kekerdilan tertinggi di dunia.
“Indonesia menempati peringkat ke-108 dari 132 negara yang diurutkan berdasarkan prevalensi kekerdilan balita terendah hingga tertinggi. Ini satu kondisi yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua,” kata Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN, Muhammad Rizal M. Damanik dalam "Sosialisasi Pemahaman Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Rizal menuturkan Indonesia menempati urutan ke-108 dari 132 negara yang diurutkan berdasarkan prevalensi kekerdilan balita dari terendah hingga tertinggi di dunia. Melalui peringkat itu pula, Indonesia menjadi negara dengan angka kekerdilan tertinggi ketiga di kawasan ASEAN setelah Timor Leste dan Laos Demokrat.
Baca juga: BKKBN optimalkan peran tim pendamping keluarga untuk cegah kekerdilan
Meskipun angka kekerdilan pada tahun 2021 sudah menyentuh angka 24,4 persen, angka itu masih jauh dari standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni sebesar 20 persen dan target pemerintah pada tahun 2024 yang sebesar 14 persen.
Menurutnya, tinggi badan ibu memang menjadi faktor penting yang menjadi penanda status gizi ibu. Namun, adanya ibu yang terpapar atau mengkonsumsi rokok bisa mempengaruhi distribusi nutrisi dan oksigen pada bayi yang dikandung.
Akibat terpapar asap rokok selama masa kehamilan, ibu menjadi perokok pasif yang berpotensi melahirkan bayi dalam kondisi meninggal, prematur, keguguran, bahkan berat badan lahir rendah (BBLR) dan kematian.
“Rata-rata berat badan bayi akan 71,6 gram lebih rendah dan 16 persen lebih tinggi kemungkinan menjadi BBLR. Bahkan, memiliki peluang 51 persen lebih tinggi kemungkinan ukuran lahir yang lebih kecil daripada rata-rata,” ujar dia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) bersama Imperial College London di Inggris, prevalensi perokok pasif dalam rumah tangga Indonesia mencapai 78,4 persen, lebih tinggi ketimbang China di angka 48,4 persen, Bangladesh 46,7 persen dan Thailand 46,7 persen.
Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kondisi perempuan dan anak Indonesia yang menjadi kelompok rentan terhadap paparan asap rokok sangat memprihatinkan.
Baca juga: KSP : Penurunan "stunting" harus tepat sasaran dan berkelanjutan
Baca juga: BKKBN: Kampung KB bantu daerah tertinggal lebih diperhatikan
Bahkan, akibat konsumsi rokok, pengeluaran keluarga untuk berbelanja mengalami penurunan, dimana ibu mengurangi pembelian makanan protein hewani dan cepat menyebabkan keluarga lebih cepat mencapai kemiskinan. Sehingga, rokok berkaitan erat dengan terjadinya kekerdilan dan kemiskinan.
Oleh sebab itu, Rizal berharap dengan menyebarkan edukasi mengenai pentingnya menjauhi rokok, semua keluarga dapat terbebas dari potensi kekerdilan sekaligus melindungi kesehatan ibu dan bayi.
“Kami berharap, hasil kajian ini dapat memberikan pengetahuan bagi para pengelola tenaga program di tingkat lini lapangan. Terutama tim pendamping keluarga yang saya banggakan dan para pemangku kepentingan,” kata Rizal.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022