Bank Indonesia (BI) menilai Indonesia perlu lebih fleksibel dalam menghadapi potensi peningkatan bunga obligasi Amerika Serikat (AS), yang akan dipicu oleh rencana kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed pada tahun 2022.Indonesia harus lebih fleksibel terutama dengan menyesuaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah agar tetap menarik di mata investor asing
"Kenaikan suku bunga acuan Fed kemungkinan akan meningkatkan bunga obligasi AS menjadi 2,2 persen hingga 2,5 persen pada akhir tahun ini," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Annual Investment Forum 2022 yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, Kamis.
Dengan kondisi tersebut, Indonesia harus lebih fleksibel terutama dengan menyesuaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah agar tetap menarik di mata investor asing.
Selain itu, Perry menegaskan nilai tukar rupiah juga akan lebih fleksibel dalam menghadapi kemungkinan kenaikan yield obligasi AS.
"Semuanya akan kami lakukan untuk memitigasi berbagai dampak dari kondisi global yang sedang terjadi," tuturnya.
Oleh karena itu dari segi moneter, ia akan mengarahkan suku bunga kebijakan BI dan likuiditas untuk lebih mengarah kepada stabilitas perekonomian untuk menghadapi kondisi global.
Kondisi pandemi saat ini yang dialami dunia memang merupakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kendati demikian dalam dua tahun ini, dirinya menilai semangat Indonesia sangat kuat, terutama didorong oleh koordinasi yang baik antar pemangku kebijakan, mulai dari Presiden, Menteri Keuangan, BI, dan otoritas lainnya.
"Semuanya bersama untuk mengatasi masalah ini dan mengakselerasi pemulihan ekonomi," ucap Perry.
Baca juga: Gubernur BI optimistis investasi akan topang perekonomian pada 2022
Baca juga: Fed kemungkinan naikkan suku bunga Maret, Powell janji perangi inflasi
Baca juga: BI kembali pertahankan bunga acuan 3,5 persen
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022