• Beranda
  • Berita
  • Strategi Indonesia di gelombang ketiga pandemi COVID-19

Strategi Indonesia di gelombang ketiga pandemi COVID-19

28 Januari 2022 16:00 WIB
Strategi Indonesia di gelombang ketiga pandemi COVID-19
Ilustrasi - Virus Corona. (ANTARA/HO-Sutterstock)
Kamis (27/1), Kementerian Kesehatan RI mengumumkan kesiapan pemerintah menghadapi gelombang ketiga COVID-19 yang diprediksi memuncak pada akhir Februari 2022.

Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes RI melaporkan sejumlah indikator yang menandai kemunculan gelombang ketiga di Indonesia berdasarkan kajian epidemiologi per Rabu (26/1).

Indikator yang dimaksud di antaranya kasus konfirmasi nasional telah menembus 7.010 kasus atau naik dari hari sebelumnya sebanyak 4.878 kasus. Sebanyak 1.988 kasus di antaranya terkonfirmasi varian baru Omicron.

Kasus aktif dilaporkan mencapai 29.277 pasien atau naik dari hari sebelumnya 24.856 pasien. Sebanyak 2.582 di antaranya telah sembuh.

Angka kesembuhan naik dari sehari sebelumnya sebanyak 869 pasien atau lebih rendah dari kasus baru mencapai 7.010 pasien. Sementara kasus meninggal harian berjumlah tujuh jiwa atau turun dari sehari sebelumnya 20 jiwa.

Indikator lainnya, sepuluh provinsi dengan kasus konfirmasi yang relatif tinggi adalah DKI Jakarta mencapai 3.509 kasus terdiri atas 3.325 transmisi lokal dan 184 importasi kasus yang dibawa pelaku perjalanan luar negeri.

Provinsi Jawa Barat meningkat menjadi 1.619 kasus terdiri atas transmisi lokal 1.607 kasus dan importasi kasus 12 kasus, Banten 1.133 kasus terdiri atas transmisi lokal 1.122 kasus dan 11 kasus importasi.

Sedangkan provinsi lain mulai mengalami tren peningkatan kasus di antaranya Jawa Timur 238 kasus, Bali 139 kasus terdiri atas transmisi lokal 138 kasus dan importasi satu kasus, Jawa Tengah 111 kasus, Sumatera Utara 26 kasus, Kalimantan Timur 26 kasus, NTT 24 kasus, Yogyakarta dan Papua masing-masing 23 kasus.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengemukakan Omicron turut berkontribusi memicu gelombang ketiga pandemi COVID-19 di Indonesia berdasarkan ciri yang telah terindentifikasi yakni kasus konfirmasi yang lebih cepat dan lebih tinggi serta keterisian rumah sakit atau hospitalisasi maupun angka kematian yang lebih rendah.

Dari total 1.998 kasus Omicron di Indonesia, sebanyak 1.160 kasus merupakan importasi kasus yang melibatkan pelaku perjalanan internasional maupun pekerja migran Indonesia yang kembali ke Tanah Air saat libur Natal dan Tahun Baru, 606 kasus lainnya merupakan transmisi lokal atau penularan di tingkat populasi, sementara 232 lainnya belum diketahui riwayat kemunculannya di Indonesia.

Importasi kasus Omicron terbanyak berasal negara keberangkatan seperti Arab Saudi 151 kasus, Turki 134 kasus, Amerika Serikat 105 kasus, Malaysia 84 kasus dan UEA 70 kasus.

Jika dilihat berdasarkan indikator perawatan pasien Omicron terdapat 854 pasien yang menjalani perawatan dengan hasil diagnosa bergejala, 461 di antaranya asimptomatik atau tanpa gejala, 334 pasien sakit ringan, 54 pasien sakit sedang dan sakit berat lima pasien.

"Saat ini dari total yang dirawat 854, sebanyak 86 di antaranya masih dirawat, 768 selesai perawatan, sembuh 675 pasien dan meninggal tiga pasien," katanya.

Peningkatan angka kasus juga terlihat dari positivity rate atau perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes. Jumlahnya mencapai 2,87 persen atau naik dari hari sebelumnya 2,77 persen. Sedangkan laju kasus dalam sepekan terakhir (7DMA positivity rate) mencapai 1,88 persen atau naik dari hari sebelumnya 1,64 persen.

Kemenkes juga melaporkan angka keterisian tempat tidur rumah sakit nasional mencapai 9,77 persen atau naik dari hari sebelumnya 8,89 persen.

Baca juga: Pasien COVID-19 meningkat, RS Suyoto Bintaro tambah tempat tidur

Baca juga: Uni Eropa berikan izin bersyarat pil COVID-19 Pfizer


Kesiapan pemerintah

Menkes Budi menyebutkan penanganan gelombang ketiga pandemi COVID-19 di Indonesia dilakukan pemerintah dengan metode berbeda saat terjadinya gelombang pertama dan kedua pada Desember 2020 dan Juli 2021.

Alasannya, kebutuhan hospitalisasi pasien Omicron relatif lebih rendah, juga dengan tingkat keparahannya lebih rendah dari varian Delta. Tapi di sisi lain, perbedaan utama dari varian Omicron dibandingkan varian lain ada pada tingkat penularan yang bersifat cepat dan masif.

Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP-PDPI) Erlina Burhan dalam konferensi pers virtual, pada Senin (24/1), bahkan menyebut Omicron memiliki gejala yang serupa influenza biasa seperti batuk kering, nyeri pada tenggorokan, pilek, sakit kepala, nyeri di perut dan demam.

Berdasarkan laporan penanganan 43 kasus Omicron di Amerika Serikat pada 1-8 Desember 2021, data dari 37 pasien simptomatik (bergejala) yang mengalami batuk 89 persen, fatigue 65 persen, hidung tersumbat 59 persen, demam 38 persen, mual atau muntah 22 persen, sesak napas 16 persen, diare 11 persen dan anosmia 8 persen.

Sementara berdasarkan pengamatan pada 17 pasien probable Omicron dan Omicron di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, sebanyak 65 persen bergejala ringan, batuk kering 63 persen, nyeri tenggorokan 54 persen, pilek 27 persen, sakit kepala 36 persen, demam 18 persen.

Berdasarkan data itu, pasien Omicron kerap kali tidak menyadari bahwa mereka terpapar SARS-CoV-2 varian Omicron, terlebih mereka yang tanpa gejala (OTG), sehingga lebih banyak orang yang dirawat di rumah atau isolasi mandiri (isoman).

Itu sebabnya strategi pemerintah dalam menghadapi gelombang omicron ini sedikit berbeda dengan menghadapi gelombang Delta di gelombang sebelumnya.

Perbedaan yang dimaksud ada pada tataran persiapan sarana dan prasarana di sejumlah fasilitas kesehatan seperti rumah sakit.

Misalnya, kebijakan konversi tempat tidur perawatan pasien untuk keperluan isolasi pada saat gelombang kedua dari 80.000 unit menjadi 120.000 hingga 130.000 unit. "Jadi nggak perlu konversi lagi. Yang sudah siap adalah sekitar 80 ribuan, sudah terisi 7.600-an saat ini," kata Menkes Budi.

Untuk itu Kemenkes mengeluarkan kebijakan untuk memilah skala prioritas perawatan pasien COVID-19 Omicron di rumah sakit berdasarkan tingkat keparahan yang diderita. Bagi pasien bergejala ringan dan tanpa gejala maka akan dibujuk untuk menjalani isoman melalui pendampingan tenaga medis via platform digital.

Kemenkes juga mempersiapkan stok obat antivirus COVID-19 untuk kebutuhan nasional di antaranya 13.718.710 Oseltamivir kapsul, 91.032.335 Favipiravir tablet, 1.646.560 Remdesivir vial, 11.811.794 Azythromycin tablet, 3.456 Tocilizumab 400 mg/20 ml Vial, 14.792 Tocilizumab 80 mg/4 ml Vial, dan 151.734.996 Multivitamin tablet.

Kemenkes menambah varian obat antivirus di fasilitas farmasi pusat berupa Sotrovimab, Casirivimab dan Bamlanivimab, Baricitinib serta Etesevimab.

Upaya deteksi dini Omicron di level populasi diperkuat Kemenkes menggunakan cairan kimia reagen sebagai bahan baku reaksi berantai polimerase (PCR) yang diperkirakan siap diproduksi di dalam negeri pada akhir Januari 2022.

Kemenkes melibatkan produsen dalam negeri serta akademisi di Indonesia untuk memproduksi reagen PCR yang bisa mendeteksi dini varian Omicron melalui metode S-Gene Target Failure (SGTF).

Produksi reagen PCR yang mampu mendeteksi Omicron dalam 4-6 jam itu akan dilakukan di fasilitas milik PT Bio Farma, Bandung, Jawa Barat mulai akhir Januari 2022 untuk didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia.

Ia mengatakan pada tahap awal distribusi reagen tersebut diarahkan menuju sejumlah wilayah dengan angka kasus Omicron yang relatif tinggi, seperti DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Alat SGTF merupakan solusi tes cepat terhadap indikasi Omicron di Indonesia menyusul penggunaan alat genom sekuensing yang relatif mahal serta membutuhkan hasil yang lebih lama, yakni berkisar enam hingga tujuh hari.

Baca juga: Lebih dari 10 bintang K-Pop positif COVID-19 dalam sepekan

Baca juga: 31 kasus probable Omicron terdeteksi di Sulut


PPKM

Memasuki gelombang ketiga pandemi COVID-19, Pemerintah memutuskan untuk tetap mempertahankan komponen dasar Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai upaya pencegahan transmisi COVID-19 di level komunitas.

Komponen dasar yang digunakan pemerintah bersumber dari panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seputar penilaian level penularan di mana transmisi Level 1 diukur minimal 20 per 100.000 penduduk, jumlah hospitalisasi lima per 100.000 penduduk dan jumlah kematian satu per 100.000 penduduk.

"Asesmen level PPKM kita akan tetap menggunakan kebijakan itu. Ini merupakan asesmen level yang disusun berbasis standar WHO yang diukur dari kesiapan daerahnya," kata Budi.

Asesmen tersebut dilakukan evaluasi sepekan sekali melalui rapat lintas kementerian/lembaga setiap Senin yang diputuskan secara langsung oleh Presiden RI Joko Widodo.

"Kita evaluasi setiap hari Senin untuk melihat perubahan tiap hari, kecuali ada yang benar-benar darurat sehingga masyarakat juga tidak bingung kalau terlalu sering dilakukan perubahan," katanya.

Meskipun Kemenkes belum dapat memperkirakan jumlah kasus pandemi gelombang ketiga yang diprediksi memuncak pada akhir Februari 2022, tapi pemerintah bersama para pakar telah mengenal pola gelombang COVID-19, di antaranya mobilitas penduduk yang bersifat masif pada saat perayaan keagamaan yang diiringi dengan penurunan protokol kesehatan.

Untuk itu masyarakat diimbau untuk selalu patuh pada ketentuan menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan (3M) serta menyegerakan diri ikut dalam program vaksin COVID-19.*

Baca juga: Menkes: Jangan panik berlebihan hadapi Omicron

Baca juga: Dokter paru: Batuk dan gatal tenggorokan gejala umum Omicron

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022