• Beranda
  • Berita
  • Pengamat: Penurunan rating obligasi WSBP bersifat sementara

Pengamat: Penurunan rating obligasi WSBP bersifat sementara

2 Februari 2022 21:16 WIB
Pengamat: Penurunan rating obligasi WSBP bersifat sementara
Ilustrasi - Pekerja memeriksa kualitas ketebalan "spun pile" atau tiang pancang di Plant Prambon PT Waskita Beton Precast Tbk di Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA/Moch Asim/ama/aa.

Rating sebuah emiten sangat tergantung kondisi kesehatan perusahaan ke depannya. Apabila setelah restrukturisasi modalnya membaik maka rating dengan sendirinya bisa meningkat

Penurunan rating obligasi PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) oleh lembaga pemeringkat Pefindo yang mengakibatkan suspensi perdagangan saham WSBP di Bursa Efek Indonesia (BEI) bersifat sementara, karena bisa segera meningkat kembali setelah perusahaan melakukan restrukturisasi modal.

"Rating sebuah emiten sangat tergantung kondisi kesehatan perusahaan ke depannya. Apabila setelah restrukturisasi modalnya membaik maka rating dengan sendirinya bisa meningkat," kata Pengamat BUMN Toto Pranoto di Jakarta, Rabu.

Diketahui, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memangkas peringkat utang obligasi WSBP dari sebelumnya “idBBB-” menjadi "idD", seiring dengan putusan PN Jakarta Pusat yang menyatakan WSBP berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara.

Status tersebut berlaku untuk jangka waktu 45 hari sampai dengan 11 Maret 2022.

Status PKPU Sementara tersebut menjadikan WSBP dalam kondisi debt standstill dan tidak diperbolehkan melakukan pembayaran kepada semua pemberi pinjaman. Ini termasuk pembayaran kupon untuk Obligasi Berkelanjutan I Tahap II Tahun 2019 jatuh tempo pada 31 Januari 2022.

Akibatnya, BEI melakukan penghentian sementara (suspend) perdagangan efek baik saham dan obligasi WSBP di seluruh pasar, yang dimulai pada sesi pertama perdagangan Senin, 31 Januari 2022 sampai menunggu pengumuman lebih lanjut.

Menurut Toto, biasanya kalau sudah terjadi keputusan hakim atas pengesahan persetujuan perdamaian atau homologasi maka perusahaan yang di-suspend bisa meminta kepada BEI untuk melepaskan suspensi.

“PKPU merupakan instrumen hukum yang bisa digunakan oleh para kreditur dan para pemilik tagihan untuk bisa memitigasi kerugian akibat potensi default dari debitur,” katanya.

Dengan mekanisme PKPU, maka masih dibuka ruang negosiasi antara kedua pihak untuk merundingkan persoalan yang terjadi, dengan harapan terjadi kesepakatan antar pihak yang bersifat win-win.

"Kesepakatan ini penting bagi debitur untuk memberikan ruang relaksasi dalam rangka restrukturisasi bisnis. Sementara kreditur atau pemilik tagihan juga percaya bahwa kesepakatan yang ada bisa menyelamatkan bisnis debitur sehingga tagihan kreditur bisa terbayar," jelas Toto.

Menurut Toto, tekanan likuiditas yang banyak dialami BUMN saat ini adalah dampak pandemi Covid-19 yang salah satunya menyebabkan kelesuan bisnis.

"Untuk kasus Waskita Beton terjadi karena beberapa proyek dikerjakan lewat pendanaan utang. Kemudian ketika terjadi pandemi COVID-19 menyebabkan proyek terhenti, sementara kewajiban membayar bunga bank terus berjalan. Akibatnya mulai terjadi kesulitan cash flow," ungkapnya.

Ia menjelaskan, prospek Waskita Beton ke depan akan tergantung pada kecepatan pemulihan ekonomi setelah pandemi, di mana sumber pasar paling besar terdapat pada induk yaitu pekerjaan konstruksi di Waskita Group.

Selanjutnya, untuk memitigasi risiko sebaiknya manajemen WSBP harus melakukan diversifikasi pasar yang diperluas sehingga tidak terlalu bergantung pada pasar group Waskita saja.

Baca juga: Waskita Beton targetkan nilai kontrak baru tumbuh 30 persen pada 2022
Baca juga: Waskita berhasil lunasi seluruh obligasi jatuh tempo tahun 2021
Baca juga: Waskita akan terbitkan obligasi untuk modal kerja proyek

 

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022