"Pemekaran yang bertujuan positif untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan ini diharapkan tidak menciptakan kemiskinan baru di Papua. Hal itu mengingat pemekaran Papua saat ini berjalan bersama sejumlah proyek strategis pemerintah beranggaran besar, yakni penanganan gelombang ketiga pandemi COVID-19 dan pembangunan ibu kota negara baru," kata dia, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurutnya, dengan sejumlah proyek itu, jangan sampai program pemekaran Papua yang menjadi amanat pasal 76 UU Nomor 2/2021 tentang Otonomi Khusus dianaktirikan, seperti pemenuhan transfer dana ke Papua yang tidak mampu terwujud dan justru berpotensi menimbulkan kemiskinan baru.
Baca juga: Pemkab Biak berikan bantuan pom bensin mini kepada pelaku UKM Papua
Di satu sisi, wakil rakyat asal Papua Barat ini meyakini pemekaran menjadi langkah dan harapan baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana disebutkan dalam pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2/2021, yaitu pemekaran bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.
Meskipun begitu, dia memandang ada tantangan mengiringi agenda pemekaran daerah di tanah Papua saat ini karena pemerintah memerlukan anggaran yang besar untuk proyek penanganan pandemi dan pembangunan ibu kota negara baru.
Baca juga: Kemenkeu: Sinergi pendanaan RIPP Papua 2022-2041 harus diterapkan
Terlebih menurutnya, utang pemerintah saat ini pun sudah membengkak sebagaimana laporan Kementerian Keuangan yang mencatat posisi utang pemerintah Indonesia hingga akhir tahun 2021 mencapai Rp6.908,87 triliun.
“Terus terang, saya cukup khawatir dapatkah pemekaran ini dapat dikawal terus, bukan hanya sampai pada seremonialnya, melainkan juga pada transfer dana ke daerah," kata dia.
Ia melanjutkan, peningkatan transfer dana pemerintah ke daerah ini menjadi tuntutan dari pemekaran. Hal itu karena pemerintah daerah, termasuk daerah pemekaran baru, berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan, baik dalam bentuk dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Baca juga: Kemenkeu: Pemerintah anggarkan Rp84,7 triliun untuk Papua di 2022
“Kita harus jujur bahwa Papua dan Papua Barat masih sangat bergantung pada dana transfer daerah karena selama 2016-2019, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua tidak pernah mencapai 10 persen dari APBD,” ungkapnya.
Contohnya di Papua, ujar dia, PAD 2016 bernilai Rp1,098 triliun atau 8,8 persen dari total APBD sebesar Rp.2,438 triliun. Lalu pada 2017, persentasenya meningkat menjadi 9,4 persen, tetapi menurun menjadi 7,4 persen di tahun 2018 atau senilai Rp1,009 triliun dari total APBD yang mencapai Rp13,548 triliun.
"Pada 2019, turun lagi menjadi 6,7 persen atau sebesar Rp938 miliar dari APBD sebanyak Rp.13,978 triliun," kata dia.
Baca juga: Panglima pastikan TNI kawal pembangunan Papua secara berkelanjutan
Pada saat pemekaran, dia memandang transfer dana ke daerah menjadi semakin besar karena setiap provinsi memiliki hak desentralisasi yang sama. Oleh karena itu, ia merasa khawatir pemerintah tidak dapat memenuhi transfer dana tersebut dengan adanya program pembangunan ibu kota negara baru dan penanganan pandemi Covid-19.
Kemudian, dia juga mengingatkan pemerintah agar setelah pemekaran dilakukan, Papua tidak diabaikan di tengah padatnya program pemerintah yang lain, terutama terkait alokasi dana dari pemerintah pusat.
Baca juga: Tujuh poin krusial revisi kedua Otsus Papua
Menurut dia, alokasi dana itu menjadi salah satu insentif dan modal awal bagi pemerintah daerah otonom baru untuk mengoptimalkan pendapatan sendiri. Dengan demikian, pemerintah daerah otonom baru dapat mengurangi ketergantungan terhadap keuangan pemerintah pusat dan tidak mereproduksi kemiskinan baru.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022