• Beranda
  • Berita
  • Polri: APH tangani kekerasan seksual harus sensitif gender

Polri: APH tangani kekerasan seksual harus sensitif gender

7 Februari 2022 20:00 WIB
Polri: APH tangani kekerasan seksual harus sensitif gender
Acara Konsultasi Publik DIM RUU TPKS dengan K/L, Masyarakat Sipil, dan Akademisi di Jakarta, Senin (7/2/2021). ANTARA/Anita Permata Dewi.

Kompetensi tersebut penting untuk menghindari 'reviktimisasi' terhadap korban.

Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Pol. Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual harus memiliki kompetensi serta sensitif gender.

"Agar aparat penegak hukum (APH) yang dimaksud adalah memiliki kompetensi dan mengikuti pelatihan. Ini memang harus dilaksanakan," kata Kombes Pol. Jean Calvijn Simanjuntak dalam acara Konsultasi Publik DIM RUU TPKS dengan K/L, Masyarakat Sipil, dan Akademisi yang diikuti secara virtual di Jakarta, Senin.

Menurut dia, kompetensi tersebut penting untuk menghindari reviktimisasi terhadap korban.

"APH juga harus memiliki sensitif gender untuk menghindari reviktimisasi pada korban." imbuhnya.

Ia mengatakan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak menggunakan pendekatan restorative justice.

Kemudian terkait dengan alat bukti dalam RUU TPKS, menurut dia, terdapat beberapa perluasan alat bukti, yakni dapat berupa informasi ataupun dokumen elektronik, keterangan saksi atau korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik dan keterangan saksi korban.

"Kemudian ada juga dimasukkan keterangan saksi korban sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah. Hal ini tentunya disertai dengan alat bukti sah lainnya dan keyakinan hakim," katanya.

Calvijn juga mengajak para psikiatri dan psikolog untuk melapor jika menemukan tanda-tanda terjadinya kekerasan seksual pada klien mereka.

"Ini (kasus kekerasan seksual) adalah fenomena gunung es. Maka itu, apabila ada korban yang melakukan konseling, psikiatri, psikolog, dan tenaga kesehatan mungkin dapat menginformasikan jika menemukan tanda-tanda permulaan terjadi tindak pidana tersebut," katanya.

Baca juga: MPR: Kendala proses hukum harus diantisipasi dalam RUU TPKS

Baca juga: Peneliti ICJR dukung mekanisme dana bantuan korban dalam RUU TPKS

Baca juga: LBH APIK dorong RUU TPKS lindungi korban pemaksaan aborsi

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022