"Kalau dari statistik angka memang cukup menyedihkan tetapi tidak heran karena angka merokok di Indonesia cukup tinggi, sebagai faktor risiko," ujar dia dalam konferensi pers daring bertajuk "Meningkatkan Kesintasan Pasien Kanker Paru Melalui Deteksi Dini, Diagnosis dan Tatalaksana yang Berkualitas", Selasa.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat terjadinya peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun dari 28,8 persen pada tahun 2013 menjadi 29,3 persen pada tahun 2018.
Kebiasaan merokok pun tidak hanya menjadi masalah pada orang dewasa, namun juga semakin marak pada kalangan anak dan remaja. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun yakni sebesar 1,9 persen dari tahun 2013 (7,2 persen) ke tahun 2018 (9,1 persen).
Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak ketiga di dunia pada tahun 2021.
Baca juga: Tiga metode terapi pasien kanker paru
Baca juga: Akses pengobatan kanker bantu tingkatkan kualitas hidup penyintas
Terkait angka kejadian kanker paru khususnya pada pria, Evlina yang juga aktif di International Cancer Center Rumah Sakit Dharmais itu mengungkapkan saat ini mencapai 21 per 100.000 penduduk.
"Jadi kita bayangkan, membagi yang prianya saja dari usia 15 tahun sudah berisiko terkena penyakit kanker paru sampai usia 70 tahun, maka dibagi per 100 juta penduduk maka setiap tahun kita bertambah 21.000 kasus," kata dia.
Sementara angka kematian akibat kanker paru juga cukup tinggi yakni 18 per 100.000 penduduk.
"Jadi, tipis antara kasus penyakit dengan kematiannya. Dengan angka harapan hidup yang sangat rendah. Kalau kematiannya cukup tinggi, maka harus mulai berpikir strategi yang harus dilakukan," tutur Evlina.
Data Global Cancer Observation (Globocan) 2020) menunjukkan, kanker paru menjadi salah satu kanker dengan angka kejadian tertinggi di Indonesia, dengan perkiraan sekitar 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia.
Dari sisi usia, bila dulu puncak kejadian kanker berada pada usia 55 tahun, saat ini terjadi lebih awal yakni 45 tahun. Hal ini terkait salah satunya dengan paparan rokok pada usia remaja.
Pada perempuan, kanker paru menduduki peringkat keenam penyebab kematian tertinggi setelah kanker paru dan serviks, dengan angka harapan hidup yang juga rendah.
Selain kebiasaan merokok atau menjadi perokok pasif, infeksi yang belum selesai diobati semisal tuberkulosis (TB) juga menjadi faktor risiko angka kejadian kanker paru.
"Kita harus mengurai faktor risiko, kalau tidak nanti kita bisa mencapai angka 34. Tidak heran dalam waktu dekat mungkin kita bisa mencapai 34 per 100.000 penduduk," kata Evlina.
Dia berpendapat, dalam hal merokok, sebenarnya sudah banyak pemerintah kota yang telah menetapkan ruang merokok atau ruang publik dilarang merokok, namun kebijakan ini belum didukung kebijakan nasional.
Baca juga: Regulasi tembakau alternatif dinilai bantu tekan prevalensi perokok
Baca juga: Pentingnya deteksi dini kanker paru
Baca juga: Pentingnya perawatan holistik untuk penderita kanker
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022