perguruan tinggi telah banyak mengambil peran
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meminta setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia untuk memberikan langkah nyata dalam pencegahan terjadinya anak lahir dalam keadaan kerdil (stunting).
“Berbagai Perguruan Tinggi telah mengadakan beragam seminar dan pertemuan mengenai stunting, saya tunggu tindakan nyata di masyarakat,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
Hasto mengetahui tindakan nyata untuk menekan angka prevalensi stunting itu tidaklah mudah. Walaupun demikian, sejumlah perguruan tinggi sudah merencanakan sebuah upaya melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Salah satunya seperti Universitas Teuku Umar (UTU) Aceh yang memiliki kepedulian tinggi terhadap stunting tidak hanya melalui penerapan kebijakan pada mahasiswanya, namun langsung bergerak ke lapangan dengan melakukan pengabdian masyarakat berbasis riset di Kabupaten Simeuleu, Aceh.
Baca juga: BKKBN: Perguruan tinggi punya peran strategis bantu atasi stunting
Baca juga: Kemendikbudristek dorong perguruan tinggi bekerjasama atasi stunting
Bersamaan dengan itu, selain menyusun Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (RAN PASTI) BKKBN sudah melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Plt. Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani mengatakan sudah ada 321 perguruan tinggi yang melakukan kerja sama dengan BKKBN pusat, kantor perwakilan BKKBN provinsi di seluruh Indonesia serta Forum Rektor.
Dwi berharap semua kabupaten kota bisa didampingi setidaknya oleh satu perguruan tinggi sebagai lembaga dalam mengentaskan stunting.
“Perguruan tinggi telah banyak mengambil peran dalam upaya percepatan penurunan stunting yang fokus melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik, pengabdian masyarakat dan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Hal ini sejalan dengan program Mahasiswa Peduli Stunting (Penting) yang dilakukan BKKBN,” kata Dwi.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UTU Teuku Muliadi mengatakan kampusnya telah menciptakan sebuah program pemberdayaan keluarga Jambo Gizi (JAZI) untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
“JAZI merupakan pemberdayaan masyarakat berbasis pengabdian dan riset di tingkat keluarga dengan tujuan percepatan penurunan prevalensi stunting balita di wilayah Barat Selatan Aceh, direncanakan selama 3 tahun dengan fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan,” kata Teuku.
Baca juga: Unicef sebut penanganan stunting di Sabang jadi percontohan
Menurutnya, terdapat sejumlah kabupaten di Aceh yang menyumbang angka stunting di atas 30 persen. Di antaranya Kabupaten Nagan Raya, Aceh Jaya, Abdyan dan Subulussalam. Sedangkan penyumbang kemiskinan tertinggi ada di Kabupaten Aceh Singkil.
Dengan dibentuknya JAZI, diharapkan kemiskinan dan stunting dapat teratasi melalui rumah pangan terpadu, budi daya ternak kambing ettawa, budi daya ikan air tawar serta pengembangan pusat pangan lokal desa seperti buah gadung, ubi atau daun kelor.
Termasuk mengadakan pelatihan, pembuatan makanan tambahan dan dapur sehat, sosialisasi kesehatan reproduksi pada calon pengantin, dan sosialisasi keluarga sadar gizi.
“Target lainnya dari kami adalah adanya sisi kebijakan di tingkat desa dengan terbitnya Qanun Gampong. Nantinya bisa menjadi acuan di desa lokus stunting yang dipatuhi sebagai norma sosial, hukum dan budaya,” ucapnya.
Baca juga: Ibu hamil di Aceh Jaya dapat Rp500.000 per bulan cegah kekerdilan
Baca juga: Anggota DPR ajak masyarakat perangi stunting
Baca juga: Program Geunaseh turunkan stunting jadi 11,2 persen di Sabang
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022