• Beranda
  • Berita
  • Kebutuhan rumah masyarakat tak surut meski pandemi masih melanda

Kebutuhan rumah masyarakat tak surut meski pandemi masih melanda

15 Februari 2022 22:39 WIB
Kebutuhan rumah masyarakat tak surut meski pandemi masih melanda
Sebuah truk melintas dikomplek perumahan di Desa Rukoh, Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh, Rabu (12/1/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas.

Saya harap ke depannya persetujuan KPR bisa lebih cepat lagi apalagi jika calon nasabah sudah memiliki dokumen yang lengkap

Kementerian Perencanaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat angka backlog atau selisih antara kebutuhan dan persediaan perumahan di Indonesia sebelum COVID-19 yakni di awal tahun 2020 mencapai 7,64 juta unit. Namun saat pandemi melanda, angka tersebut meningkat seiring dengan semakin dibutuhkannya rumah oleh masyarakat.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang dilakukan pada bulan Maret dan September melaporkan angka backlog perumahan pun meningkat menjadi 12,75 juta unit. Angka tersebut belum termasuk pertambahan keluarga baru yang mencapai 700-800 ribu per tahun.

Pertambahan penduduk di Indonesia setiap tahun kurang diimbangi dengan pembangunan dan penyediaan rumah yang terjangkau, sehingga hal tersebut menjadi sumber masalah dalam tidak terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal.

Pandemi COVID-19 memang menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat menjadi serba di rumah, dari mulai bekerja, belajar, bermain, berbelanja, hingga beribadah.

Dengan demikian, rumah semakin menjadi kebutuhan dasar manusia yang sangat memegang peranan penting dalam kelangsungan dan keberlanjutan hidup manusia dalam bermasyarakat.

Sebagai pengantin baru, Aulia Religia (26) pun mengaku memiliki rumah sendiri sangatlah penting untuk keluarga yang akan dibangun nanti.

"Rumah itu tempat untuk kembali, tempat beristirahat, dan tempat bersenda gurau dengan keluarga," ujar Aulia kepada Antara.

Apalagi, ia merupakan seorang istri yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, sehingga terkadang membutuhkan privasi dan ketenangan di dalam rumah.

Kondisi pandemi saat ini pun menjadi pertimbangan dalam memiliki rumah pribadi dibandingkan menyewa atau mengontrak rumah. Maka dari itu, kini Aulia sedang gencar mencari rumah baru untuk disinggahi keluarga kecilnya yang tentunya layak huni agar bisa mendapatkan kenyamanan.

Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menyatakan rumah sebagai kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan berfungsi sebagai sarana pembinaan keluarga. Oleh karena itu, tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan yang penting untuk terpenuhi.

Status kepemilikan rumah sebenarnya merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk yang dapat menunjukkan keterjangkauan tempat tinggal bagi masyarakat dan bisa digunakan untuk mengukur isu backlog yang terjadi di Indonesia.

Meski sebagian besar rumah tangga di Indonesia yakni 80 persen tinggal di rumah dengan status milik sendiri, persentase rumah tangga di perkotaan yang tinggal di rumah milik sendiri masih jauh lebih kecil dibanding dengan rumah tangga di pedesaan, yaitu 72 persen dibanding 90 persen pada tahun 2020.

Rendahnya persentase di perkotaan tersebut disebabkan oleh ketersediaan tanah yang terbatas dan berdampak pada tingginya harga tanah dan tempat tinggal.

Sulit dan tidak terjangkaunya harga tempat tinggal di perkotaan mendorong masyarakatnya untuk menyewa tempat tinggal atau menempati bangunan milik orang lain.

Adapun persentase tertinggi rumah tangga yang memiliki tempat tinggal milik sendiri tercatat di Jawa Tengah yaitu 89,2 persen, sedangkan persentase terendah berada di Jakarta sebesar 45,04 persen.

Penduduk di ibu kota kini cenderung memilih mengontrak atau menyewa rumah, yang terlihat dari peningkatan persentase rumah tangga berstatus mengontrak atau menyewa rumah pada tahun lalu yang meningkat dari 2019 yakni 36,36 persen menjadi 37,71 persen.

Sementara itu, persentase rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah sendiri menurun dari 47,12 persen menjadi 45,04 persen.

Salah satu penyebab penurunan persentase rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah sendiri adalah semakin terbatasnya lahan dan perumahan, yang berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah penduduk sehingga menyebabkan harga rumah di ibu kota melonjak. Hal tersebut tentunya berpotensi menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.

Namun untuk mencegah potensi itu, pemerintah antara lain meluncurkan program Satu Juta Rumah yang berhasil mencapai 1,1 juta unit pada 2021. Capaian tersebut terdiri dari 826.500 unit rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan 279.207 unit rumah non MBR.

Lebih rinci, rumah MBR dibangun oleh Kementerian PUPR sebanyak 341.868 unit, Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya 3.080 unit, pemerintah daerah 43.933 unit, pengembang perumahan 419.745 unit, CSR Perumahan 2.270 unit, dan masyarakat 15.604 unit.

Sejak dimulai pada tahun 2015, total pembangunan dari Program Sejuta Rumah mencapai 5,76 juta yang terdiri dari 699.700 unit pada 2015, 805.169 unit pada 2016, sebanyak 904.758 unit di tahun 2017.

Kemudian pada tahun 2018, program tersebut berhasil membangun 1,13 juta unit rumah, sebanyak 1,25 juta unit pada 2019, dan di tahun 2021 tercatat 965.217 unit.

Ke depannya, diharapkan terdapat berbagai program baru lainnya seperti Satu Juta Rumah yang bisa semakin membantu masyarakat Indonesia dalam memiliki rumah sendiri, tentunya dengan harga yang terjangkau.

Penyaluran KPR

Selain melalui program Satu Juta Rumah, pemerintah turut mendorong perbankan menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR). Selama pandemi, dorongan tersebut dilakukan melalui pemberian insentif pajak pertambahan nilai (PPN) properti yang diberikan hingga tahun 2022.

Bank Indonesia (BI) pun turut melonggarkan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit properti, yang bisa menjadikan perbankan memberi kredit dengan uang muka nol persen untuk semua jenis properti bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu, serta menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menambah keringanan KPR dengan penurunan bobot risiko kredit (ATMR) kredit beragunan rumah tinggal.

Selama tahun 2021, seluruh bauran kebijakan tersebut membuahkan hasil. Pasalnya, KPR tercatat menjadi salah satu pendorong pertumbuhan kredit perbankan nasional sebesar 5,24 persen, yang ditopang kredit konsumsi dan kredit modal kerja masing-masing tumbuh 4,67 persen dan 6,32 persen pada tahun lalu. Di sektor konsumsi, KPR mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 9,13 persen.

Dengan berbagai insentif yang diberikan, masyarakat di masa pandemi pun cenderung membeli rumah menggunakan sistem KPR.

Fachrul Usman (25) menjadi salah satu pemuda yang memilih membeli rumah dengan skema KPR, dengan pertimbangan kenaikan harga properti setiap tahunnya.

Meski belum berkeluarga, kebutuhan rumah untuk tempat tinggal masa depan dirasakan dirinya sangat penting sehingga ia mulai mencoba membeli rumah dengan mengajukan KPR.

"Awalnya saya sempat mengumpulkan uang untuk menabung membeli rumah, tetapi saat tabungan saya terkumpul harga rumah tersebut sudah naik," ujar Fachrul.

Dari pengalaman tersebut, ia melakukan riset kecil-kecilan untuk mencari tahu suku bunga KPR dan jumlah angsuran yang akan dibayarkan sesuai tenor yang diinginkan.

Dari riset yang dilakukan, Fachrul merasa hasil KPR akan sepadan antara besaran jumlah bunga yang dibayarkan dengan besaran kenaikan harga unit rumah untuk jangka waktu sesuai tenor yang ingin diambil.

Setelah itu, ia pun langsung memutuskan untuk membeli rumah melalui KPR dan pengajuannya pun diterima setelah satu bulan kemudian oleh salah satu bank swasta.

"Saya harap ke depannya persetujuan KPR bisa lebih cepat lagi apalagi jika calon nasabah sudah memiliki dokumen yang lengkap," katanya.

Sebagai bank penyalur KPR terbesar di Indonesia, PT Bank Tabungan Negara atau BTN pun memperhatikan isu waktu proses pengajuan KPR tersebut.

Dengan demikian, BTN menargetkan mulai 2022 persetujuan (approval) pengajuan kredit debitur bisa dipercepat menjadi hanya satu hari melalui implementasi credit scoring menggunakan teknologi informasi.

Implementasi teknologi credit scoring telah mempercepat proses pengajuan kredit yang saat ini sudah bisa dilakukan persetujuan dalam waktu 2-3 hari setelah semua dokumen persyaratan pengajuan kredit dilengkapi, dari lama proses pengajuan kredit sebelumnya yakni 7-8 hari.

"Saat ini proses bisnis sudah 50 persen digital, biro kredit sudah pakai robotik. Sudah tidak perlu ditelepon lagi," ungkap Direktur Risk Management and Transformation Bank BTN Setiyo Wibowo.

Percepatan persetujuan kredit tersebut tentunya akan sangat membantu masyarakat yang sangat membutuhkan kredit dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Pasalnya, dengan target tersebut BTN akan bisa memberikan pembiayaan perumahan mencapai 1,2 juta dalam kurun lima tahun, yakni periode 2021-2025, sehingga backlog perumahan di Indonesia pun bisa berkurang.

Secara nasional, BTN masih menguasai pangsa pasar KPR yakni sekitar 40 persen pada 2021 dengan pertumbuhan 6,6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) menjadi Rp213,9 triliun.

Dominasi tersebut ditopang oleh KPR subsidi yang memiliki andil sebesar 90 persen dan berhasil tumbuh 8,25 persen (yoy) menjadi Rp130,68 triliun. Selain itu, KPR non subsidi BTN juga meningkat 4,14 persen (yoy) menjadi Rp83,25 triliun pada tahun lalu.

Baca juga: Sri Mulyani: Realisasi KPR 2021 capai Rp465,55 triliun
Baca juga: BRI mudahkan pengajuan KPR untuk dukung program Satu Juta Rumah
Baca juga: Asosiasi pengembang gandeng SMF kembangkan ekosistem pembiayaan

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022