• Beranda
  • Berita
  • FSGI sebut revisi UU Sisdiknas berbahaya bagi organisasi guru

FSGI sebut revisi UU Sisdiknas berbahaya bagi organisasi guru

20 Februari 2022 15:36 WIB
FSGI sebut revisi UU Sisdiknas berbahaya bagi organisasi guru
Dokumen - Sebanyak 86 orang PPPK untuk formasi guru SD dan SMP Kabupaten Barito Utara tahap kedua menandatangani kontrak terhitung mulai 1 Maret 2022, di BKPSDM setempat di Muara Teweh, Kamis (17/2/2022) ANTARA/Dokumen Pribadi.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Republik Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan perubahan dalam draft revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berbahaya bagi organisasi guru.

“Perubahan tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan, perkembangan, dan kemandirian organisasi profesi guru. Guru dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, wibawa, kemandirian dan kebebasan dalam pembinaan, dan pengembangan guru ke depannya akan mengalami hambatan," ujar Heru dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad.

Baca juga: Penyelenggara pendidikan minta pembahasan RUU Sisdiknas ditunda

Dalam draft pada Pasal 126 yang berbunyi bahwa penetapan kode etik guru oleh Mendikbudristek berdasarkan masukan dari organisasi profesi guru. Pasal itu merupakan perubahan dari pasal 42 UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), yang mana salah satu kewenangan organisasi profesi guru adalah menetapkan dan menegakkan kode etik bagi anggota. Pasal 126 mengambil alih kewenangan organisasi guru dalam menegakkan kode etik dari organisasi profesi ke Kemdikbudristek.

Heru menambahkan FSGI memiliki sejumlah alasan terkait keberatan jika pasal 42 yang mengatur tentang kewenangan organisasi guru pada UU RI No 14 tahun 2005 diubah dan diambil alih Negara berdasarkan pasal 126 RUU tersebut.

Alasan tersebut diantaranya perubahan kewenangan menetapkan dan menegakkan kode etik guru diubah menjadi kewenangan dari Kemdikbudristek sangat bertentangan dengan Undang-Undang RI Nomor : 14 Tahun 2005 pasal 42.

Baca juga: Ketua DPD dorong kebijakan turunan UU Sisdiknas

Berikutnya, kemerosotan dalam demokrasi yang mana seharusnya pemerintah bukan mengontrol guru. Pelanggaran etik, bukan pelanggaran hukum. Jadi seharusnya, guru yang melanggar kode etik disanksi peringatan sampai kepada pencabutan dari daftar keanggotaan organisasi profesi oleh organisasi profesinya sendiri, bukan oleh Mendikbudristek.

Kemudian lembaga/kementerian negara itu berwibawa karena pembuat peraturan perundang-undangan yang sifatnya dapat mengatur, mengikat, memaksa,dan menghukum.

Baca juga: Pemerhati: BSNP merupakan amanat UU Sisdiknas

Kode etik tidak masuk klasifikasi dalam hirarki peraturan perundang-undangan,sehingga hal tersebut tidak linier dengan hukum kebiasaan yang sudah mengakui bahwa tugas Pemerintah itu penegak peraturan dan demi kewibawaan

“Pemerintah sebagai penegak peraturan maka peran dan fokus tugas hanya satu sebagai penegak peraturan, sedangkan penetapan dan penegak kode etik tetap diberikan kepercayaan kepada organisasi profesi guru,” ujar Wakil Sekjen FSGI, Mansur.

Selain itu, jika guru berstatus PNS melakukan pelanggaran, maka guru PNS yang melanggar peraturan perundang-undangan tersebut dapat disanksi sesuai pasal 77 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 dan guru swasta dapat diberhentikan karena melanggar kesepakatan kerja bersama sesuai pasal 30 UU Guru dan Dosen.

“Undang-Undang Guru dan Dosen dan Peraturan Disiplin PNS sudah cukup kuat sebagai payung hukum untuk melindungi martabat dan kehormatan profesi guru negeri-swasta,sehingga tidak perlu penguatan kode etik guru menggunakan revisi UU Sisdiknas dan Peraturan Mendikbudristek," tambah Mansur lagi.

FSGI juga belum menemukan pasal terkait “Penyelenggaraan Pendidikan Nasional di Situasi Darurat”. Situasi darurat yang dimaksud bisa saja karena bencana alam maupun bencana non alam seperti pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung selama dua tahun.

Pewarta: Indriani
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2022