• Beranda
  • Berita
  • Anggota MPR: PT 20 persen tidak sesuai perintah konstitusi

Anggota MPR: PT 20 persen tidak sesuai perintah konstitusi

20 Februari 2022 17:55 WIB
Anggota MPR: PT 20 persen tidak sesuai perintah konstitusi
Anggota MPR RI dari Kelompok DPD Ahmad Kanedi. (ANTARA/HO-MPR RI)

Anggota MPR RI dari Kelompok DPD Ahmad Kanedi mengatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden atau "presidential threshold" (PT) sebesar 20 persen merupakan sesuatu yang membingungkan dan tidak sesuai dengan perintah konstitusi.

Menurut dia, pemakaian PT juga ditentang sebagian besar ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi serta tidak ditemukan dalam praktek ketatanegaraan di negara manapun di dunia.

"Saya sudah berkeliling ke berbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan 'presidential threshold' yang dipraktekkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia," kata Ahmad Kanedi dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Hal itu dikatakan Kanedi saat menjadi narasumber pada Seminar Pustaka Akademik, kerja sama MPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB), Sabtu (19/2). Tema seminar tersebut adalah "Presidential Threshold Dalam Perspektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Kanedi menjelaskan, di berbagai kampus yang dikunjunginya, dirinya sering mendapat pertanyaan, mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden masih gunakan.

Baca juga: Perludem: Hapus "threshold" dibanding pangkas durasi kampanye
Baca juga: DPD RI akan ajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden
Baca juga: PD dukung uji materiil ambang batas presiden 20 persen


Dia mengatakan, masyarakat menilai ketentuan tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi.

Menurut dia, syarat pencalonan Presiden sesuai ketentuan konstitusi adalah warga negara Indonesia, tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau tindak pidana berat lainnya, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

"Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktek politik dan harus kita sadari bersama. Meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti aturan hukum yang ada," katanya.

Dalam diskusi tersebut, pakar Hukum Tatanegara UNIB Ardilafisa menilai semestinya ambang batas pencalonan presiden digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50 persen plus satu.

Menurut dia, apabila dalam pemilu presiden (Pilpres) belum ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dilakukan pemilihan kedua namun bukan menggunakan ambang batas untuk menentukan calon presiden.

"Silakan semua calon ikut dalam kontestasi, pemenangnya adalah dia yang dapat 50 persen plus satu," katanya.

Ardilafisa juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pertama pada 2024, rencana tersebut sangat membahayakan.

Hal itu menurut dia karena pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022