• Beranda
  • Berita
  • Kemenkes: 51,2 persen balita stunting berada di lima provinsi absolut

Kemenkes: 51,2 persen balita stunting berada di lima provinsi absolut

22 Februari 2022 17:08 WIB
Kemenkes: 51,2 persen balita stunting berada di lima provinsi absolut
Plt. Direktur Jenderan Kesehatan Masyarakat Kemenkes Murti Utami dalam Rapat Kerja Nasional Program Bangga Kencana Tahun 2022 yang diikuti di Jakarta, Selasa (22/2/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti.

Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) menyebutkan sebanyak 51,2 persen balita yang lahir dalam keadaan kerdil (stunting) berada di lima provinsi absolut.

“Namun demikian, apabila kita lihat dari angka absolut jumlah balita kerdil, sebesar 51,2 persen itu ada di lima provinsi absolut. Ada di provinsi paling besar,” kata Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Murti Utami dalam Rapat Kerja Nasional Program Bangga Kencana Tahun 2022 yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021, Murti menyebutkan lima provinsi absolut dengan jumlah balita kerdil tertinggi adalah Jawa Barat sebanyak 1.055.608 anak, Jawa Timur 653.218 anak, Jawa Tengah 543.963 anak, Banten 294.862 anak dan Sumatera Utara sebanyak 383.403 anak.

“Jadi tidak hanya yang jauh-jauh dari ibu kota. Ternyata Jawa Barat yang begitu dekat dengan Jakarta, juga bisa mencapai atau memiliki jumlah balita kerdil tertinggi di Indonesia,” ucap dia.

Baca juga: Kepala BKKBN ajak media serius menurunkan angka kekerdilan

Baca juga: BKKBN kembali gemakan perannya lewat peningkatan kualitas keluarga

Selain kelima provinsi absolut, Murti turut menyebutkan dalam skala prevalensi provinsi yang memiliki angka balita kerdil tertinggi di Indonesia, yakni Nusa Tenggara Timur 37,8 persen, Sulawesi Barat 33,8 persen, Aceh 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat 31,4 persen.

Terdapat pula Sulawesi Tenggara 30,2 persen, Kalimantan Selatan 30 persen dan Kalimantan Barat 29,8 persen.

Menurut Murti, salah satu penyebab anak dapat lahir dalam keadaan kerdil adalah karena sejak masa remaja, seorang ibu sudah mengalami anemia.

Oleh karena itu, Kemenkes akan memperkuat kerja sama bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui intervensi spesifik seperti memberikan tablet darah pada remaja putri di sekolah tingkat SMP/SMA/Sederajat ataupun tambahan asupan gizi bila ibu mengalami kekurangan gizi kronik (KEK).

“Kami akan terus senantiasa mendukung, berkoordinasi dan bekerjasama dengan BKKBN. Namun, kami ingin fokus dalam menjalankan intervensi-intervensi, yang akan kami fokuskan adalah intervensi spesifik yang memberikan penyebab langsung atas terjadinya kekerdilan,” kata Murti.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan tingginya jumlah penduduk menjadi penyebab provinsi absolut memiliki banyak anak kerdil meskipun provinsi itu tersebut bukan merupakan daerah tertinggal.

Hasto menuturkan kelima provinsi tersebut sebenarnya tidak memiliki angka prevalensi yang tinggi. Namun, dalam satu keluarga yang tinggal di provinsi seperti Jawa Barat seringkali memiliki anak dalam jumlah banyak.

Akibatnya dari 51,2 persen itu, jumlah anak yang tercatat terkena kekerdilan terlihat besar. Hal itu disebabkan karena tidak adanya jarak antar kelahiran yang direncanakan oleh keluarga.

Selain karena populasinya yang padat, tingginya jumlah pernikahan dini di provinsi-provinsi itu juga menyebabkan banyak anak kerdil lahir, sehingga angka kelahiran total (TFR) menjadi tinggi.

“Jadi kelima daerah itu bukan yang angka kekerdilan tinggi, ya, tapi daerah itu merupakan daerah yang jumlah anak stuntingnya banyak,” kata Hasto.*

Baca juga: Wapres minta BKKBN gencarkan Program Bangga Kencana sampai pelosok

Baca juga: Bahaya jangka panjang "stunting" bagi anak

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022