• Beranda
  • Berita
  • RUU Energi Baru Terbarukan dipastikan akan siap pada tahun 2022

RUU Energi Baru Terbarukan dipastikan akan siap pada tahun 2022

8 Maret 2022 21:02 WIB
RUU Energi Baru Terbarukan dipastikan akan siap pada tahun 2022
Ilustrasi. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang ada di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. PLTS itu dibangun sebagai komitmen mewujudkan peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. (ANTARA/HO-PJB)
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyatakan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipastikan bakal siap pada tahun 2022 meski untuk pengesahannya diyakini bakal menemui jalan yang relatif terjal.

Sugeng Suparwoto di Jakarta, Selasa, menyatakan bahwa RUU yang mendorong penggunaan energi terbarukan sebagai pengganti energi fosil ini sudah sampai pada tahap harmonisasi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

"Mengharmonisasikan juga tidak mudah, ada sekian undang-undang yang akan dipayungi oleh undang undang tersebut, ada klausul menimbang, klausul mengingat dan sebagainya,” ungkap Sugeng.

Ia menyatakan bahwa dari Baleg DPR RI nanti Komisi VII DPR RI akan memintakan kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI untuk diagendakan Rapat Paripurna untuk mengesahkan calon regulasi tersebut.

Ia juga mengemukakan, tidak hanya Komisi VII dan Baleg, RUU EBT pun akan melibatkan beberapa kelembagaan.

"Pemerintah akan menanggapi dalam bentuk Surat Presiden yang berisi tentang kelembagaan yang ikut membahas, yaitu Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) sebagai leading sector, ada juga Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, dan mungkin juga Kementerian Hukum dan HAM,” jelasnya.

Peralihan ke EBT, menurut dia, bukanlah sebuah pilihan, tapi merupakan keharusan sehingga tidak boleh ada penundaan terkait RUU tersebut apalagi potensi EBT di Indonesia sangatlah besar.

Lebih lanjut Sugeng menerangkan bahwa energi fosil memang sudah menjadi tantangan baik dari sisi sebagai komoditas dengan harga sangat fluktuatif maupun konsumsinya yang juga banyak.

Secara terpisah, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan kenaikan harga energi fosil menjadi momentum bagi Indonesia untuk mendorong potensi energi baru terbarukan (EBT).

"Salah satu masalah dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah harganya lebih mahal ketimbang energi fosil. Meroketnya harga energi fosil harus dijadikan momentum mendorong potensi EBT," ujarnya kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Fahmy menjelaskan berbagai upaya untuk mendorong pengembangan potensi energi bersih meliputi pembuatan undang-undang dan aturan yang diperlukan, infrastruktur, dan pemberian insentif fiskal bukan insentif tarif.

Berbagai upaya itu dibutuhkan untuk menciptakan iklim investasi energi bersih yang kondusif, sehingga menarik minat investor untuk mempercepat investasi di sektor energi baru terbarukan.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa Indonesia memiliki sumber daya energi baru terbarukan yang melimpah dan beragam, tetapi belum memiliki teknologi untuk memaksimalkan potensi-potensi tersebut. "Pengembangan EBT harus menggandeng investor asing yang memiliki teknologi," ujar Fahmy.

Pandemi COVID-19 ditambah ketegangan geopolitik antara Rusia dengan Ukraina membuat harga energi fosil, seperti batu bara, minyak mentah, dan gas alam menyentuh angka tertinggi. Minyak mentah Brent yang menjadi patokan dunia sempat menyentuh angka 139 dolar AS per barel atau menyentuh level tertinggi sejak 2008 silam.

Baca juga: Pengamat: Kenaikan harga energi fosil jadi momentum dorong potensi EBT
Baca juga: RUU EBT harus integrasikan aspirasi seluruh pemangku kepentingan
Baca juga: Emil Salim dorong transisi ke energi bersih hadapi perubahan iklim

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022