• Beranda
  • Berita
  • Mengulik pengalaman pasien cuci darah dengan segala tantangannya

Mengulik pengalaman pasien cuci darah dengan segala tantangannya

10 Maret 2022 06:56 WIB
Mengulik pengalaman pasien cuci darah dengan segala tantangannya
Ilustrasi dukungan bagi pasien (Pixabay)
Terbatas dalam beraktivitas, pola diet berubah hingga stres menjadi sederet dampak yang dialami Tony Richard Samosir saat harus menjalani cuci darah akibat gagal ginjal yang dia alami beberapa waktu lalu.

Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu terdiagnosis gagal ginjal stadium akhir saat usianya 26 tahun. Hipertensi yang tak terkontrol menjadi salah satu penyebabnya.

Tony akhirnya mendapatkan donor ginjal sehingga bisa menjalani transplantasi ginjal. Tetapi dia masih ingat pengalamannya sewaktu menjadi pasien yang harus menjalani cuci darah yang menjadi terbatas dalam melakukan kegiatan termasuk bekerja dan bepergian. Dia juga seperti pasien lainnya perlu mengubah pola diet dengan membatasi asupan makanan dan minuman termasuk air putih serta asupan kalsium.

Konsumsi air putih dibatasi maksimal 500 ml, sementara untuk makanan, dia disarankan dokter agar berlebihan menyantap hidangan dengan kandungan kalsium. Belum lagi pasien perlu mengonsumsi obat seumur hidup. Keharusan menjalani cuci darah setidaknya dua hingga tiga kali dalam sepekan ke rumah sakit juga menguras waktu, tenaga dan biaya.

Dari sisi biaya, data dari BPJS Kesehatan memperlihatkan, gagal ginjal menjadi salah satu penyakit kronis yang dapat menyebabkan pembiayaan katastropik bagi pasien dengan total kasus saat ini mencapai Rp6,9 juta per tahun.

Menurut Direktur Utama Dewan Direksi BPJS Kesehatan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD, sebanyak 238 ribu- 405 ribu pasien telah mendapatkan pelayanan yang pembiayaannya dijamin program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan biaya berkisar Rp4,3- 7,5 triliun setiap tahunnya.

Sedangkan untuk pelayanan hemodialisa setidaknya 6 juta kasus telah dilayani dan dijamin oleh BPJS Kesehatan melalui Progran JKN pada tahun 2021 dengan biaya Rp4,7 triliun.

Bila dirinci, pada tata laksana gagal ginjal, BPJS Kesehatan membiayai tindakan satu kali transplantasi sebesar Rp378 juta, Rp92 juta per tahun untuk dua kali hemodialisa per pekan dan Rp76 juta per tahun untuk tindakan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau metode cuci darah yang dilakukan lewat perut.

"Kami berterima kasih pada pemerintah dan BPJS Kesehatan yang sudah meng-cover dialisis yang mahal," kata Tony dalam sebuah konferensi pers bertepatan dengan peringatan Hari Ginjal Sedunia (World Kidney Day atau WKD) yang jatuh di setiap hari Kamis pada minggu kedua di bulan Maret, belum lama ini.

Walaupun mengalami segala dampak, Tony mengatakan, pasien cuci darah tetap perlu hidup dengan berkualitas. Dalam hal ini, upaya mandiri dari diri sendiri dan keluarga menjadi faktor penting.

Di sisi lain, pasien terkadang bisa merasa dirinya tak berguna, sebentar lagi dijemput ajal sehingga menyerah pada hidupnya. Di sini, mereka perlu membangun kekuatan strategi mengelola stres termasuk saat memulai cuci darah.

"Kebiasaan dialisis diubah menjadi menyenangkan bukan membebankan. Kami kalau mau berhadapan dengan dialisis yang dipikirkan mati, karena beban pikiran dan pengelolaan stres yang buruk," ujar Tony.

Menurut dia, pasien juga perlu memperkuat hubungan sosial dengan sesama pasien misalnya untuk belajar strategi khusus yang perlu diketahui pasien dialisis.

Berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas pasien bisa menjadi pilihan. Bersama komunitas, Tony membangun dukungan positif antar pasien karena sesama umumnya memahami satu sama lain. Dukungan moral antar sesama pasien dapat meningkatkan kepercayaan diri masing-masing dari mereka.

"Pasien merasa sakit, kalau keluhan ke keluarga terdekat responnya kadang kurang enak apalagi kalau keluarga tahunya minum obat. Tetapi ketika kita minum obat itu tidak menyelesaikan masalah," tutur Tony.

Menumbuhkan kesadaran pengetahuan juga penting bagi pasien antara lain tentang diet, modifikasi gaya hidup yang tepat, hingga mengidentifikasi dan mengatasi dampak penyakit ginjal yang mungkin akan dihadapi termasuk komplikasi.

Gagal ginjal terjadi ketika ginjal berhenti bekerja cukup baik untuk bertahan tanpa dialisis atau transplantasi ginjal. Tahap awal kondisi ini seringkali tidak menimbulkan gejala.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), sebanyak 90 persen orang dengan penyakit ginjal kronis (PGK) tidak tahu mereka memilikinya.

Hal ini juga diakui Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dr. Aida Lydia, PhD., SpPD, K-GH. Dia menyatakan, sekitar sepertiga pasien dengan PGK belum mengetahui benar mengenai penyakitnya, progresifitas atau perjalanan penyakitnya serta modalitas terapi yang ada bila kemudian mengalami gagal ginjal.

Pada awal perjalanan penyakit PGK umumnya tidak ada gejala, berbagai keluhan baru dirasakan bila penyakit sudah lanjut. Menurut Aida, kemungkinan kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan ginjal menjadi salah satu penyebab umum pasien sering terlambat berobat dan sering datang dalam kondisi yang sudah lanjut.

Padahal, gangguan ginjal dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko, diagnosis dini dan tatalaksana yang optimal agar pasien tidak sampai mengalami gagal ginjal.

Ada sejumlah langkah yang bisa diambil untuk menurunkan risiko gagal ginjal antara lain mengikuti petunjuk dokter saat ingin menggunakan obat bebas. Mengutip dari Healthline, dosis yang terlalu tinggi, bahkan obat-obatan umum seperti penghilang nyeri dapat membuat tingkat toksin tinggi dalam waktu singkat dan ini dapat membebani ginjal. Di sisi lain, menjaga pola hidup sehat, menjaga kondisi, seperti diabetes dan tekanan darah tinggi tetap stabil juga dapat membantu menurunkan risiko gagal ginjal.

Di Indonesia, prevalensi PGK semakin meningkat setiap tahun, bila tidak diobati suatu ketika dapat mengalami gagal ginjal. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018, prevalensi PGK sekitar 0,38 persen.

Sementara itu, data registri Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2020 menunjukkan insidensi kumulatif pasien yang menjalani dialisis (cuci darah) sebanyak 61.786, dan prevalensi kumulatif 130.931.

Baca juga: Komunitas Pasien Cuci Darah minta prioritas vaksinasi COVID-19

Baca juga: Program jaminan BPJS Kesehatan permudah cuci darah pasien

Baca juga: Pasien rutin jalani cuci darah rasakan manfaat JKN-KIS

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022