Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan lahirnya anak dalam keadaan kerdil (stunting) dapat ditentukan dari dua generasi dalam keluarga.
“Bayi yang kerdil menjadi salah satu fokus oleh negara ini. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pemutusan inter generasi pada siklus malnutrisi itu, harus diputus dalam dua generasi,” kata Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) BKKBN Eni Gustina di Jakarta, Kamis.
Eni di webinar Kesehatan Reproduksi di Era Milenial yang dipantau secara daring menuturkan ketika seorang anak perempuan dilahirkan oleh ibu, anak tersebut sudah memiliki indung telur yang dapat melepaskan sel telur pada usia remaja. Indung telur itulah yang akan menjadi bibit pada saat anak hamil.
Bila sejak usia anak-anak, calon ibu mengalami malnutrisi ataupun mengalami anemia, risiko lahirnya bayi dalam keadaan kerdil akan sulit dihentikan. Hal itu akan terus berulang sehingga dibutuhkan penanganan lebih untuk memutuskan mata rantai dari kondisi anak tersebut.
Baca juga: BKKBN Jambi dan perguruan tinggi bersinergi turunkan angka kekerdilan
Baca juga: BKKBN: 13 kabupaten di Sumut miliki angka kekerdilan di atas 30 persen
Guna mengatasi masalah kekerdilan itu, Eni mengatakan para remaja memiliki andil untuk menjaga baik kesehatan reproduksi dengan berhenti merokok bagi remaja putra agar bisa menjaga kualitas sperma tetap baik dan menjaga asupan gizi seimbang bagi remaja putri.
Penting pula bagi para remaja untuk merencanakan kehidupan berkeluarga di masa depan, dengan menikah di usia yang tepat yakni 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Termasuk memeriksakan status kesehatan di fasilitas kesehatan tiga bulan sebelum menikah.
“Kekerdilan sudah pasti pendek, tapi pendek belum tentu kerdil. Anak dikatakan kerdil kalau sampai ada dampak pada kognitif seperti daya pikir kurang. Kita juga harus waspada ketika tinggi badannya tidak sesuai dengan ukuran normal,” kata Eni.
Sebelumnya, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menekankan sindrom kekerdilan dapat terjadi secara berulang-ulang pada anak.
“Sindrom ini bisa berulang, mulai dari neonate, dua tahun, usia sekolah (school age), pubertas, dewasa, terus berulang. Ketika kita tidak punya strategi untuk memutus siklus ini, jadi ibu yang kerdil melahirkan lagi anak kerdil dan seterusnya,” kata Piprim.
Guna mempersiapkan generasi yang berkualitas, perlu adanya perhatian yang dimulai sejak masa kanak-kanak, remaja hingga memasuki masa dewasa muda.
Adanya potensi sindrom kekerdilan dapat terjadi secara berulang, kata dia, membuat ibu perlu mendapatkan perhatian khusus melalui strategi intervensi yang berbeda-beda dalam setiap siklus kehidupan yang dilalui oleh ibu tersebut.
Seperti sejak ibu memasuki masa remaja kehamilan, peningkatan penggunaan makanan lokal seperti telur dan ikan guna perlu lebih ditingkatkan guna mencegah ibu terkena malnutrisi. Perlu pula melakukan fortifikasi pada makanan yang dikonsumsi ibu termasuk garam beryodium.
Kemudian pemberian ASI eksklusif sangat penting untuk memastikan bahwa bayi selama enam bulan pertama kehidupannya terpenuhi kebutuhan nutrisinya, sehingga dapat terhindari dari kondisi kekerdilan.
“Saya sering katakan kalau ibu ingin ASI-nya bagus, harus banyak minum air minimal tiga liter sehari dan harus banyak makan protein hewani karena ibu akan memberikan ASI yang menumbuhkan bayinya,” ujar dia.*
Baca juga: BKKBN siapkan Rp16,4 miliar untuk penanganan kekerdilan di Jember
Baca juga: 15 kabupaten NTT darurat kekerdilan
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022