"Pertumbuhan ekonomi akan menuntut lebih banyak energi, sedangkan konsumsi energi per kapita di Indonesia masih cukup sedikit," kata Sri Mulyani dalam 2022 Institute of International Finance (IIF) Sustainable Finance Summit yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, konsumsi energi di Tanah Air hanya satu per lima atau bahkan satu per 10, sehingga konsumsi energi ke depannya dipastikan masih akan terus meningkat.
Maka dari itu, ia menegaskan hal tersebut harus diimbangi dengan memastikan permintaan energi akan dipenuhi dengan lebih banyak energi terbarukan daripada yang tidak terbarukan, di mana sumber produksi energi terbarukan di Indonesia belum terlalu diperhatikan.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan penghasil banyak energi tak terbarukan seperti batu bara, minyak dan gas, dimana saat ini portofolio bauran energi domestik sebanyak 60 persen didominasi oleh batu bara.
"Jadi ini semua pilihan kebijakan," tutur bendahara negara tersebut.
Selain energi, Menkeu menyebutkan industri transportasi dan pengelolaan sampah juga berkontribusi terhadap CO2.
Namun, kontribusi kedua sektor tersebut masih jauh lebih sedikit daripada dua yang sangat penting bagi Indonesia yaitu kehutanan dan energi.
Saat ini, Indonesia sedang memperkenalkan pasar karbon yang secara global belum disepakati karena masih ada fragmentasi yang cukup besar.
"Itu mungkin tugas yang paling menantang, bagaimana Indonesia dapat membangun kerangka kebijakan, kerangka kerja, dan kerangka regulasi yang tepat tanpa menciptakan keuntungan bagi perekonomian kita karena secara global tidak diadopsi secara universal," tutup Sri Mulyani.
Baca juga: Sri Mulyani: Gejolak global jadi tantangan pengembangan pasar karbon
Baca juga: KTT Iklim PBB capai kesepakatan pasar karbon
Baca juga: Sri Mulyani: Kebijakan, uang, dan teknologi solusi perubahan iklim
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022