"Karena negara berkembang harus mengatasi dampak dari rambatan global, ketidakpastian, dan kenaikan suku bunga itu terhadap arus modal ke negara berkembang," ujar Perry dalam acara Leader's Insight Kuliah Umum BI di Jakarta, Senin.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan The Fed turut membatasi kemampuan negara berkembang dalam merumuskan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing.
Oleh karenanya, ia menyebutkan normalisasi kebijakan moneter menjadi salah isu yang diangkat dan disampaikan pada Presidensi G20 di Indonesia, terutama mengenai perlunya normalisasi negara maju dikalibrasi secara baik, direncanakan dengan baik, dan dikomunikasikan dengan baik.
Seluruh hal tersebut harus dilakukan agar dampak normalisasi kebijakan pada perekonomian global dan negara berkembang bisa dimitigasi dengan baik.
Perry menyebutkan normalisasi kebijakan di negara maju sudah mulai berlangsung dan kemungkinan akan lebih cepat dibanding negara lainnya.
"Kita sudah melihat bahwa Fed sudah mulai menaikkan suku bunga, semula kami perkirakan lima kali kenaikan, tapi dengan inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat, kemungkinan akan mendorong bank sentral AS menaikkan tujuh kali, termasuk bulan ini," ungkapnya.
Dirinya menyampaikan kenaikan suku bunga AS akan berdampak pada kenaikan suku bunga global dan persepsi risiko global.
Maka dari itu, normalisasi kebijakan tersebut menjadi salah satu tantangan di tengah pola pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia yang tak seimbang.
Selain normalisasi kebijakan, Perry berpendapat tantangan lainnya adalah dampak panjang 'luka memar' atau scarring effect akibat pandemi dan konflik Rusia dan Ukraina.
Baca juga: Gubernur BI: Ketidakseimbangan ekonomi global berlanjut pada 2022
Baca juga: BI perkirakan kebutuhan uang tunai selama Ramadhan Rp175,3 triliun
Baca juga: BI catat kredit perbankan tumbuh 6,33 persen pada Februari
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022