Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai implementasi dari simplifikasi proses importasi pangan bisa efisien dalam menstabilkan harga pangan dalam negeri lantaran kecepatan dalam merespons pasar agar harga tidak naik terlampau tinggi.implementasi sistem perizinan impor otomatis atau automatic licensing import dapat meningkatkan efisiensi dan menjaga ketahanan pangan.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan implementasi sistem perizinan impor otomatis atau automatic licensing import dapat meningkatkan efisiensi dan menjaga ketahanan pangan.
Felippa menyebut efisiensi yang dimaksud adalah komoditas yang diimpor bermanfaat untuk menstabilkan harga dan bisa menjaga daya beli masyarakat karena diputuskan lewat proses yang singkat.
“Selama ini keputusan-keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan selalu diambil lewat rapat koordinasi terbatas antarkementerian dan juga berbagai persyaratan yang menghabiskan waktu. Sistem perizinan impor otomatis dapat mempersingkat proses tadi menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif,” kata Felippa.
Baca juga: Peneliti: Indonesia perlu pertimbangkan relaksasi impor pangan
Impor melewati proses panjang dan dikontrol oleh pemerintah melalui Quantitative Restrictions (QR), yang disebut juga kuota, dikelola melalui sistem perizinan impor non-otomatis di mana Kementerian Perdagangan memberikan izin impor dan kuota impor kepada importir terdaftar.
Perolehan izin tersebut bergantung pada surat rekomendasi dari Menteri Pertanian dan keputusan yang diambil dalam rapat koordinasi terbatas yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
Keputusan impor diambil setelah mempertimbangkan data produksi, stok, dan konsumsi nasional. Bulog, yang memiliki monopoli atas impor beras medium untuk konsumsi umum, baru dapat mengimpor setelah mendapat persetujuan dan kuota dari Kementerian Perdagangan.
Felippa menilai proses panjang ini membuat impor pangan Indonesia kehilangan momentum yang tepat, yaitu saat harga di pasar internasional sedang murah. Selain itu proses ini juga tidak cukup cepat merespon adanya kenaikan harga di pasar.
Akhirnya saat komoditas yang diimpor memasuki pasar Indonesia, keberadaannya tidak cukup sukses untuk menstabilkan harga di pasar yang sudah terlanjur tinggi. Masuknya komoditas impor tidak jarang juga berbenturan dengan masa panen petani di mana melimpahnya komoditas akan membuat harga turun sehingga petani lokal jadi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan.
”Panjangnya proses impor berkontribusi pada tingginya harga komoditas pangan, terutama pada komoditas penting yang kenaikan harganya berdampak besar pada tingkat konsumsinya di masyarakat. Hal ini akan memengaruhi konsumsi, terutama konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah,” tambahnya.
Baca juga: Pemerintah diminta benahi produksi pangan atasi impor
Sementara itu sistem perizinan impor otomatis memberikan kesempatan kepada semua importir terdaftar untuk mengimpor. Penggunaan sistem ini mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi dan menghilangkan peluang korupsi. Automatic import licensing system tidak menghapus persyaratan SPS yang diperlukan yang menjamin kualitas dan keamanan pangan atau peraturan teknis yang menjamin standar.
Walaupun demikian, kata Felippa, penggunaan sistem ini bukan berarti produk impor akan segera membanjiri pasar domestik dan sepenuhnya menggantikan produksi pertanian dalam negeri. Sistem perizinan impor otomatis diharapkan dapat membuat produsen yang kurang efisien untuk meningkatkan produktivitasnya.
“Kebijakan perdagangan harus dibarengi dengan kebijakan pertanian yang fokus pada peningkatan daya saing produsen dalam negeri. Faktor domestik yang menyebabkan harga tinggi harus diatasi melalui kebijakan seperti peningkatan penelitian dan pengembangan, akses ke input yang lebih murah, dan perbaikan infrastruktur,” katanya.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022