• Beranda
  • Berita
  • Seknas Fitra minta Presiden mengevaluasi kinerja menteri sektor pangan

Seknas Fitra minta Presiden mengevaluasi kinerja menteri sektor pangan

27 Maret 2022 15:38 WIB
Seknas Fitra minta Presiden mengevaluasi kinerja menteri sektor pangan
Arsip - Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kedua kiri) didampingi Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan (kanan) berbincang dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi (kedua kanan) usai pertemuan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). KPK beserta Kementan dan Kemendag melakukan pertemuan guna membahas kajian tata kelola impor komoditas hortikultura dan kajian tata kelola stok yang aman dalam penyediaan pangan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.

Kementerian dan lembaga di sektor pangan itu betul-betul harus dievaluasi secara total.

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi (Seknas Fitra) meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi dan tidak ragu merombak menteri-menteri bidang pangan jika kinerja mereka buruk.

“Kementerian dan lembaga di sektor pangan itu betul-betul harus dievaluasi secara total baik Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian UMKM, dan lain-lain. Kementerian-kementerian yang menopang sektor pangan saya kira harus dievaluasi,“ kata Manajer Riset Seknas Fitra Badiul Hadi saat berbicara pada sesi diskusi yang diikuti secara virtual, di Jakarta, Minggu.

Badiul menyoroti ada berbagai masalah yang dihadapi di sektor pangan, sehingga menyebabkan harga-harga beberapa barang mahal, dan impor komoditas pokok masih tinggi.

Dari berbagai masalah itu, ia menyebut anggaran yang dialokasikan untuk mendukung program ketahanan pangan masih relatif rendah, meskipun ada kenaikan jumlah dari Rp62,8 triliun pada 2021 jadi Rp76,9 triliun pada 2022.

“Kenaikan sekitar Rp15 triliun itu bukan angka yang besar ketika bicara sektor pangan,” kata dia lagi.

Ia menyampaikan dampak minimnya anggaran ketahanan pangan menyebabkan kecenderungan Pemerintah mengimpor barang pokok yang sebenarnya dapat diproduksi di dalam negeri.

“(Problem terkait) impor itu juga terjadi akibat rendahnya anggaran di sektor (pangan) ini yang tidak mampu mendorong produktivitas dalam negeri, sehingga Pemerintah harus impor,” ujar Badiul.

Pada sisi lain, Badiul menilai problem impor terjadi karena infrastruktur yang mendukung dan menopang produksi di dalam negeri masih kurang, utamanya terkait sektor pangan. Misalnya, alat-alat pertanian termasuk traktor masih harus impor karena produksi dalam negeri belum memadai.

“Presiden sejak periode kemarin sudah kampanye produk lokal, tetapi faktanya infrastrukturnya belum dibangun,” ujar Badiul.

Presiden Jokowi saat memberi pengarahan pada para menteri, pimpinan lembaga, dan kepala daerah di Bali, Jumat (25/3), meminta mereka mengurangi impor apalagi menggunakan APBN dan APBD.

Presiden menilai realisasi belanja untuk produk dalam negeri masih cukup rendah, yaitu Rp214 triliun atau sekitar 14 persen dari total belanja barang dan jasa sebanyak Rp1.481 triliun.

“Uang rakyat jangan dibelikan produk impor, harusnya dibelikan untuk produk UMKM, Itu bisa men-trigger (memacu) pertumbuhan ekonomi,” kata Presiden ke jajarannya.

Presiden menginstruksikan jajarannya segera merealisasikan belanja produk dalam negeri terutama buatan UMKM sampai akhir Mei 2022.

Jika instruksi itu tidak dijalankan, Presiden akan mengenakan sanksi mulai dari pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU).

Presiden juga menegaskan tidak ragu mengganti pimpinan kementerian/lembaga dan BUMN jika arahannya itu tidak dilaksanakan.

"Nanti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan melakukan pengawasan sudah seberapa banyak target dicapai," kata Presiden Jokowi pula.
Baca juga: Peneliti: simplifikasi impor pangan bisa efisien stabilkan harga
Baca juga: Peneliti: Indonesia perlu pertimbangkan relaksasi impor pangan

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022