• Beranda
  • Berita
  • CIPS nilai pembatasan impor kedelai berpengaruh pada konsumen

CIPS nilai pembatasan impor kedelai berpengaruh pada konsumen

28 Maret 2022 07:05 WIB
CIPS nilai pembatasan impor kedelai berpengaruh pada konsumen
Perajin membuat tempe berbahan baku kedelai impor yang kini harganya naik dari Rp9.600 menjadi Rp10.300 per kilogram di sentra perajin tempe di Sanan, Malang, Jawa Timur, Selasa (11/1/2022). Naiknya harga kedelai impor membuat perajin tempe setempat kembali memperkecil ukuran tempe untuk mengurangi pembengkakan biaya produksi. (Antara jatim/Ari Bowo Sucipto/zk)

Indonesia masih membutuhkan impor kedelai untuk mengatasi kesenjangan kebutuhan tersebut. Belum lagi soal kualitas yang belum mampu dipenuhi kedelai domestik

Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pembatasan impor kedelai tidak relevan dengan kondisi saat ini dan akan berdampak langsung pada kepentingan konsumen.

“Pemerintah perlu memikirkan beban berat yang akan ditanggung konsumen dengan memberlakukan larangan terbatas impor kedelai. Banyak UMKM dan pedagang kecil yang membutuhkan kedelai sebagai bahan baku. Lalu banyak konsumen rumah tangga yang kebutuhan proteinnya didominasi oleh kedelai karena harganya yang terjangkau," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.

Aditya menilai kenaikan harga kedelai karena naiknya harga kedelai dunia tidak hanya merugikan produsen tempe dan tahu, tetapi juga konsumen secara luas. Kedelai merupakan salah satu sumber protein yang harganya terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, CIPS mencatat produksi kedelai di Indonesia terus menurun. Hal ini terlihat dari data USDA yang menunjukkan produksi kedelai di Indonesia dalam rentang waktu 2016-2020 mengalami penurunan dari 565 ribu ton pada 2016,kemudian  540 ribu ton pada 2017, sebanyak 520 ribu ton pada 2018, dan 480 ribu ton pada 2019 serta 475 ribu ton pada 2020. Jumlah ini hanya berkontribusi pada sekitar 20 persen kebutuhan nasional.

Baca juga: Peneliti: insentif kedelai berpotensi tak efektif tekan harga

“Oleh karena itu, Indonesia masih membutuhkan impor kedelai untuk mengatasi kesenjangan kebutuhan tersebut. Belum lagi soal kualitas yang belum mampu dipenuhi kedelai domestik,” kata dia.

Selain permasalahan produksi, kualitas merupakan salah satu permasalahan komoditas kedelai di dalam negeri di mana produksi lokal cenderung memiliki ukuran yang kecil dan tidak seragam sehingga memiliki kekurangan dalam pembuatan tempe. Selain peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas kedelai domestik akan membantu meningkatkan daya saing yang akan berdampak pada penyerapan.

Aditya merekomendasikan pemerintah untuk fokus pada kebutuhan konsumen dengan memastikan ketersediaan stok kedelai di pasar. Di saat yang bersamaan, pemerintah perlu menjalankan program intensifikasi, yang tidak membutuhkan lahan tanam tambahan, dengan memastikan akses petani kedelai kepada input pertanian, adopsi teknologi pertanian dan memperbaiki cara tanam yang disesuaikan dengan karakteristik lahan.

Baca juga: Kementan dorong petani tingkatkan kualitas kedelai, kurangi impor

Kementerian Pertanian mengakui bahwa kualitas kedelai lokal perlu ditingkatkan dan distandarisasi lantaran bentuk dan tingkat kematangannya yang tidak seragam.

 Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementan Yuris Tiyanto mengatakan pihaknya mulai memperbaiki standarisasi kualitas kedelai dan proses pascapanen, beriringan dengan peningkatan produksi target 1 juta ton untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.

Target produksi 1 juta ton kedelai dilakukan dengan penanaman pada 650 ribu hektare lahan di 14 provinsi Indonesia. Penanaman mulai dilakukan secara bertahap mulai Januari hingga Oktober 2022.

Baca juga: Indonesia perlu alternatif pengganti kedelai untuk tempe
Baca juga: Pemerintah gelontorkan Rp1,65 miliar untuk budidaya kedelai di Suslel

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2022