• Beranda
  • Berita
  • Guru besar: Permendikbudristek PPKS instrumen yang ditunggu kampus

Guru besar: Permendikbudristek PPKS instrumen yang ditunggu kampus

31 Maret 2022 21:08 WIB
Guru besar: Permendikbudristek PPKS instrumen yang ditunggu kampus
Ilustrasi - Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) berunjuk rasa menuntut pencabutan Permendikbudristek No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus di Alun-alun Serang, Banten, Kamis (2/12/2021). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.

kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Sulistyowati Irianto mengatakan Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) merupakan instrumen hukum yang paling ditunggu di perguruan tinggi di Tanah Air.

“Selama ini, ketiadaan hukum yang memadai di tingkat nasional maupun perguruan tinggi tidak dapat menangani kasus para korban kekerasan seksual, yang umumnya mahasiswi,” ujar Sulistyowati dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau mengajukan uji materi ke MA terkait dengan Permendikbudristek PPKS itu.

Dia menambahkan peninjauan kembali diajukan terhadap proses formil dan sejumlah pasal penting dalam Permendikbudristek No 30/2021 tersebut, dapat menyebabkan instrumen hukum tersebut kehilangan substansi kekuatannya dalam melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual.

Baca juga: Guru Besar UIN: "Rape culture" hambat penerapan Permendikbud No. 30
Baca juga: Akademisi: Perguruan tinggi segera terbitkan turunan Permendikbud PPKS

Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang 2012 sampai 2021 terdapat 49.729 kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di ranah personal, ranah publik dan ranah negara. Kekerasan terhadap perempuan di ranah pendidikan, paling banyak terjadi di perguruan tinggi, dan 87,8 persen nya adalah kekerasan seksual.

Dalam pandangan Komnas Perempuan, lanjut dia, kondisi itu disebabkan lima faktor yakni belum ada atau terbatasnya peraturan di perguruan tinggi yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual.

Kemudian, definisi kekerasan seksual dalam perundang-undangan nasional mengatur secara terbatas, dan tidak mengenali beragam kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, dan belum berperspektif korban sebagaimana prinsip HAM internasional.

Selanjutnya, aparatur penegak hukum yang masih terbatas pengetahuan dan perspektifnya mengenai korban perempuan. Berikutnya, penanganan hukum dalam sistem peradilan pidana tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban dan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Baca juga: Jernih memahami "persetujuan" pada Permendikbudristek No.30/2021
Baca juga: Akademisi: Penolakan terhadap Permendikbudristek No.30/2021 politis


Terakhir, ia mengungkapkan, adanya budaya menyalahkan korban sehingga menyebabkan korban bungkam dan mengalami re-viktimisasi.

“Dampak kekerasan seksual bagi korban ada potensial kehilangan nyawa dan masa depan, trauma serta cacat seumur hidup. Oleh karenanya, kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan bukan kejahatan kesusilaan,” kata dia.

Anggota Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengatakan pihaknya langsung melakukan komunikasi dengan para pemangku kepentingan terkait agar permohonan uji materi tersebut ditolak MA. Sebab, peraturan tersebut dapat menciptakan kawasan tanpa kekerasan seksual di kampus.

“Kita masih banyak peluang untuk bersikap dan berjuang agar teman-teman audiensi ke pimpinan,” kata Alimatul.

Baca juga: Mendikbud targetkan pembentukan satgas penanganan kekerasan seksual
Baca juga: DGB harap UI segera ratifikasi Permendikbudristek No. 30/2021
Baca juga: Komnas Perempuan dukung penerapan Permendikbudristek soal PPKS

 

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022