Keberlanjutan ekosistem lingkungan bumi semakin menjadi perhatian global, sehingga transisi ekonomi hijau menjadi salah satu agenda prioritas yang dibahas dalam Presidensi G20 di Indonesia tahun ini....industri petrokimia digadang-gadang menjadi sebuah industri yang dinilai paling tepat untuk bertransformasi menjadi industri hijau dan berkelanjutan guna mendukung target Indonesia bebas emisi karbon pada 2060
Negara-negara G20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi global, sehingga bertanggung jawab besar dalam mendorong pemanfaatan energi bersih dalam seluruh sektor.
Di Indonesia, pemerintah terus mendorong transisi energi melalui peralihan energi fosil ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai langkah penyiapan industri hijau yang kompetitif dan berdaya saing di masa depan.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penggunaan EBT mencapai 23 persen di energi primer pada 2025, di mana pada akhir 2021 bauran EBT telah mencapai 11,7 persen.
Selanjutnya Indonesia turut berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030, serta mencapai netralitas karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional. Negara lain pun cenderung mencanangkan capaian NZE pada tahun 2050 dan 2070.
Target tersebut disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing dan bagaimana seluruh negara di dunia bisa bekerja sama, serta berkolaborasi untuk mengakselerasi berbagai program yang ada untuk mencapai netralitas karbon.
Baca juga: Program transisi energi sebagai langkah penyiapan industri hijau
Praktik NZE yang dilakukan adalah melalui penyerapan Gas Rumah Kaca (GRK) dalam jumlah yang sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkan.
Pada 2019 sektor energi masih menjadi penyumbang emisi GRK terbesar yakni 45,7 persen selain sektor kehutanan dan penggunaan lahan yang turut menjadi sorotan.
Namun subsektor pembangkit listrik turut bertanggung jawab terhadap 35 persen emisi GRK, yang diikuti oleh sektor transportasi dan sektor industri masing-masing 27 persen.
Sumbangan emisi GRK di sektor industri kini menjadi sorotan, mengingat kian menggeliatnya sektor tersebut usai aktivitas masyarakat dilonggarkan sebagai aksi balas dendam pembatasan kegiatan yang sebelumnya dilakukan dengan adanya lonjakan kasus COVID-19.
Maka dari itu, setidaknya terdapat tiga upaya yang dapat dilakukan sektor industri guna menurunkan gas emisi, yakni pertama adalah pemanfaatan teknologi rendah karbon.
Implementasi teknologi rendah karbon mampu mengurangi jumlah gas buangan dalam proses produksi, di antaranya melalui teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan pemerintah mulai mendorong penggunaan teknologi rendah karbon bagi pelaku industri, meskipun memerlukan biaya yang tak sedikit.
Baca juga: Kemenperin: RI tunjukkan komitmen industri berkelanjutan di TIIWG G20
Kendati demikian pemerintah juga diharapkan dapat memberikan insentif bagi industri yang berhasil melakukan transformasi tersebut.
Upaya kedua yaitu menerapkan program industri hijau secara keseluruhan, lantaran menjadikan industri lebih hijau mengharuskan pelaku mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan dalam proses produksinya.
Dalam hal ini penerapan EBT bisa dilakukan sebagai alternatif energi serta penggunaan bahan baku yang lebih ramah lingkungan dan memiliki emisi lebih rendah.
Di sisi lain, upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga termasuk ke dalam upaya yang tidak hanya bermanfaat terhadap lingkungan, tetapi memakan biaya yang efektif dan efisien sehingga tercipta lingkungan yang hijau serta ekonomi hijau.
Selanjutnya, upaya ketiga yang dapat dilakukan sektor industri adalah melalui penerapan ekonomi sirkular yang memanfaatkan bahan baku dari bahan atau gas buangan produksi yang masih bisa digunakan dengan semaksimal mungkin.
Dengan penerapan sistem ekonomi sirkular, akan terjadi pemanfaatan gas buangan yang dapat mengurangi jejak karbon dari proses produksi.
Selain itu pembentukan budaya ramah lingkungan dalam internal perusahaan juga mampu mengakselerasi terciptanya industri hijau dengan praktik hidup yang lebih ramah lingkungan.
Guna menghasilkan dampak nyata yang lebih terukur, pelaku industri perlu melakukan pengukuran emisi yang dikeluarkan sehingga dapat melakukan penataan serta penentuan strategi yang perlu dilakukan agar menjadi industri yang lebih hijau.
Terus berinovasi dalam upaya penurunan gas emisi rumah kaca dan menerapkan sikap adaptif terhadap berbagai dampak perubahan iklim merupakan ciri dari industri masa depan yang peduli akan keberlanjutan.
Salah satu industri yang disoroti untuk turut menekan emisinya adalah industri petrokimia, pasalnya petrokimia merupakan industri di sektor hulu yang menyediakan hampir seluruh bahan baku industri hilir seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetik, hingga farmasi, dengan melalui proses produksi yang memanfaatkan energi.
Oleh karena itu, industri petrokimia digadang-gadang menjadi sebuah industri yang dinilai paling tepat untuk bertransformasi menjadi industri hijau dan berkelanjutan guna mendukung target Indonesia bebas emisi karbon pada 2060 yang diwujudkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Baca juga: Kemenperin transformasi petrokimia jadi industri hijau
Direktur Utama Pupuk Kaltim Rahmad Pribadi sebagai pelaku industri petrokimia mengungkapkan terciptanya industri hijau dapat dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang sudah tertera dalam Peta Jalan Pupuk Kaltim agar lebih hijau dan berkelanjutan.
“Kami melihat ke depannya perusahaan tidak hanya dituntut menjadi lebih produktif, tetapi juga lebih ramah lingkungan," kata Rahmad.
Peta jalan tersebut terus dikembangkan dengan fokus pada tiga pondasi utama, yaitu efisiensi energi lewat digitalisasi, diversifikasi usaha dengan bahan baku energi terbarukan, dan melakukan praktik ekonomi sirkular guna memanfaatkan emisi produksi menjadi komoditas bisnis baru.
Dalam upaya pengurangan jejak karbon, Pupuk Kaltim juga sudah memulai penggunaan biomassa sebagai sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sebagai campuran pembangkit listrik boiler batu bara yang diperkirakan mengurangi emisi pabrik hingga 5,4 persen.
Langkah lain yang telah dilakukan adalah reaktivasi pabrik urea Proyek Optimasi Kaltim (POPKA-2) yang berpotensi mengurangi emisi 3,4 persen atau 145.408 ton CO2 per tahun, serta menyiapkan kapasitas penyimpanan karbon 130 MM ton CO2 atau 21 persen dari total potensi penyimpanan karbon di Indonesia.
Selain industri petrokimia, industri makanan dan minuman juga terus bertransformasi mendukung agenda ekonomi hijau Presidensi G20 Indonesia.
Water, Resources, Nature and Process Technology Director Danone-AQUA Muhammad Azwar mengatakan Danone-AQUA menerapkan Planet Sirkular dalam kegiatan operasional, yang terdiri dari sirkular air, sirkular karbon, dan sirkular kemasan.
Sirkular air diimplementasikan melalui pengelolaan dan konservasi sumber daya air secara terpadu, sedangkan sirkular karbon diwujudkan melalui kebijakan kenetralan karbon yang dicapai melalui pengurangan emisi karbon dan efisiensi energi.
Sementara itu, sirkular kemasan dijalankan melalui penggunaan kemasan ramah lingkungan dan pengelolaan sampah plastik. Saat ini AQUA pun telah berhasil menggunakan kemasan daur ulang 100 persen dengan aman sesuai peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Baca juga: Mendag: Sektor swasta penting dalam pertumbuhan ekonomi
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022