Nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, mengurangi kemiskinan. Itu harus di rebranding ke arah seperti itu
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan melihat lambatnya pertumbuhan ekonomi syariah maka bahwa harus ada pembaruan brand dengan menjual nilai-nilai yang lebih universal dan bisa diterima seluruh orang dari berbagai agama.
Peneliti INDEF Fauziah Rizki Yuniarti dalam webinar, Selasa menyarankan lembaga keuangan syariah tidak menggunakan branding agama agar bisa mempercepat pertumbuhan industri syariah.
“Perlu rebranding jadi tidak melulu agama karena ternyata terbukti tidak laku di Indonesia walaupun kita Muslim Indonesia terbesar di dunia. Nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, mengurangi kemiskinan. Itu harus di rebranding ke arah seperti itu,” ujarnya.
Selain itu, lembaga keuangan syariah, dinilainya juga perlu melakukan digitalisasi ekosistem seperti berkolaborasi dengan e-commerce dan melakukan pelatihan digital. Serta kolaborasi dengan lembaga keuangan syariah lain seperti perbankan dengan peer to peer landing.
Baca juga: Wapres minta lembaga keuangan syariah siapkan SDM berkelanjutan
Berdasarkan data dari Dinar Standard di 2022, aset lembaga keuangan syariah mencapai 3,6 triliun dolar AS dan aset keuangan syariah Indonesia berjumlah 47 miliar dolas AS. Halal food Indonesia juga berada di posisi nomor 2 setelah Malaysia. Indonesia juga berada pada nomor urut 10 sebagai negara top eksportir ke OIC.
Kendati demikian, dari sekian banyak uang yang beredar di industri halal, lanjutnya, belum ada data yang secara spesifik memberikan data kontribusi dari keuangan syariah.
“Seberapa besar uang-uang ini melewati channel keuangan syariah, misal transaksinya lewat keuangan syariah jadi belum ada yang bisa mendeteksi,” paparnya.
Baca juga: Wapres dorong ada reformasi perpajakan untuk lembaga keuangan syariah
Lebih lanjut Fauziah menyampaikan bahwa dari tiga jenis Institusi Keuangan Mikro Syariah (IKMS) Indonesia, yakni KSPSS (Koperaso Simpan-Pinjam dan Pembiayaan Syariah), LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah) dan BPRS (Bank Pembiayaan Syariah), koperasi kurang termonitor dengan baik.
“Data di 2020 ada sekitar 4 ribu koperasi dan anggaran Koperasi UMKM tidak sebesar lembaga lain, anggaran untuk memonitor terbatas dan yang termonitor kurang dari 50 persen,” ungkapnya.
Hal tersebut menyebabkan banyaknya kasus penyelewengan dana yang pada akhirnya memperburuk image koperasi syariah dan image ekonomi syariah. Ini concern pemerintah harus fokus memperhatikan,” kata dia.
Baca juga: OJK targetkan terbentuk 100 bank wakaf mikro tahun ini
Baca juga: Sri Mulyani sebut aset keuangan syariah RI capai 143,7 miliar dolar
Baca juga: KNEKS: Aset industri keuangan syariah tumbuh 76 persen dalam 5 tahun
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2022