"Ada enam hal ke depan yang perlu kita kawal setelah disahkan-nya RUU TPKS," ujar anggota jaringan Anis Hidayah saat menjadi narasumber dalam konferensi pers virtual bertajuk "Catatan Kritis Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual Atas Pembahasan RUU TPKS", sebagaimana dipantau dari Jakarta, Selasa.
Pertama, Anis menyampaikan bahwa Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus menjadi informasi dan pengetahuan publik melalui penyelenggaraan sosialisasi dari Pemerintah kepada masyarakat.
"Undang-Undang ini harus menjadi informasi dan pengetahuan publik melalui sosialisasi. Jadi, kelompok-kelompok yang rentan menjadi korban, seperti mereka yang berada di sekolah dan kampus penting untuk didatangi dan menerima sosialisasi terkait dengan UU TPKS," ujarnya.
Anis meyakini Pemerintah sebenarnya telah memiliki program untuk menyosialisasikan suatu undang-undang. Namun pada praktiknya, menurut dia, sosialisasi tersebut cenderung hanya menjadi formalitas.
Baca juga: Aktivis: RUU TPKS muat enam elemen kunci
Baca juga: Komnas Perempuan paparkan dampak pemerkosaan tidak masuk RUU TPKS
Baca juga: Migrant Care apresiasi kinerja DPR-Pemerintah susun RUU TPKS
Oleh karena itu, ia mengatakan jaringan aktivis seperti pihaknya perlu ikut berperan menyosialisasikan UU TPKS. "Kita juga harus mengisi itu dengan substansi yang memadai," imbau Anis.
Kedua, lanjutnya, pembuatan dan pengesahan aturan turunan yang dimandatkan UU TPKS juga perlu dikawal. Sejauh ini, menurut Anis, ada lima aturan turunan yang dimandatkan oleh UU TPKS. Di antaranya, empat peraturan pemerintah (PP) yang terdiri atas pembahasan seputar restitusi korban kekerasan seksual, unit pelayanan terpadu satu atap untuk korban, pencegahan tindak pidana kekerasan seksual, dan pendidikan serta pelatihan petugas di unit pelayanan terpadu.
"Lalu, ada pula aturan turunan terkait dengan pemantauan implementasi UU TPKS dalam bentuk peraturan presiden," kata Anis.
Ketiga, hal yang juga perlu dikawal setelah disahkan-nya UU TPKS adalah penguatan kapasitas, baik pendamping korban, aparat penegak hukum, maupun petugas unit pelayanan terpadu.
"Apalagi Pasal 16 RUU TPKS mensyaratkan pendamping dan aparat penegak hukum harus punya perspektif korban, hak asasi manusia (HAM), serta disabilitas dalam penanganan kasus kekerasan seksual," ujarnya.
Hal keempat adalah jaringan aktivis berkepentingan menyusun instrumen pemantauan implementasi UU TPKS. Kelima, pengawalan terhadap pemantauan implementasi UU TPKS dan yang terakhir adalah membuat rapor implementasi UU TPKS pasca-tiga tahun diundangkan.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022