Hal tersebut karena kedua tindak pidana ini akan menjadi substansi dalam pembahasan Revisi Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKUHP).
"Perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah isu mahkota dari tindak kekerasan seksual. Penting diingat bahwa perkosaan dan bentuk pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah kasus yang terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga penyedia layanan setiap tahunnya, baik di ranah personal juga di ranah publik," kata dia melalui siaran pers di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Menteri PPPA: RUU TPKS wujud negara hadir cegah kekerasan seksual
Dia menyebut dari total 4.323 kasus kekerasan yang dilaporkan ke lembaga layanan pada 2021 di ranah personal dan publik, sebanyak 2.638 atau 63 persen adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.
Menurut dia, pengaturan di dalam KUHP bertumpang-tindih antara pasal tentang perkosaan, persetubuhan, dan pencabulan.
Komnas Perempuan mengusulkan agar muatan pada Pasal 6c menjadi pasal tersendiri sebagai jembatan untuk mengatasi risiko waktu tunggu penetapan RKUHP.
"Langkah ini dapat memastikan RUU TPKS semakin memuat terobosan hukum yang menjadi tonggak penting upaya penghapusan kekerasan seksual. Perbaikan ini tidak perlu menunggu revisi RKUHP, melainkan menjadi materi yang nanti diharmonisasi dalam proses perumusan revisi KUHP. Pasal jembatan ini dapat mengantisipasi kerugian korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya di masa tunggu penetapan revisi KUHP," katanya.
RKUHP rencananya dibahas dan ditetapkan pada sesi sidang Juni 2022.
Baca juga: RUU TPKS contoh komitmen pemerintah - DPR perjuangkan UU pro rakyat
Baca juga: Ketua DPR: Pengesahan RUU TPKS hadiah kaum perempuan di Hari Kartini
Baca juga: Komnas Perempuan paparkan dampak pemerkosaan tidak masuk RUU TPKS
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022