TPK ini bertugas melakukan pendampingan kepada remaja atau calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-59 bulan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menurunkan 557 Tim Pendamping Keluarga (TPK) di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, untuk mencegah terjadinya tengkes (kekerdilan) pada anak.
“TPK ini bertugas melakukan pendampingan kepada remaja atau calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-59 bulan, sehingga memiliki pemahaman yang cukup dalam upaya pencegahan 'stunting'," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo kepada ANTARA di Desa Tabuan Asri Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin, Senin.
Hasto menyebutkan 557 tim tersebut setara dengan 1.671 personel yang masing-masing tim terdiri dari bidan, kader PKK dan kader KB, agar angka prevalensi di kabupaten itu dapat turun sesuai dengan target yang diimpikan oleh Presiden Joko Widodo yakni 14 persen pada tahun 2024.
Baca juga: BKKBN: Angka kekerdilan di Sumatera Selatan capai 24,8 persen
Angka prevalensi kekerdilan pada anak di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan masih menyentuh angka 22,0 persen dan masuk dalam kategori kuning.
Sebenarnya angka prevalensi kekerdilan di Kabupaten Banyuasin sudah berada di bawah angka secara nasional yang saat ini mencapai 24,4 persen. Namun artinya, masih ada 22 anak di Kabupaten itu yang dapat dipastikan terkena kekerdilan.
Hadirnya tim pendamping keluarga itu, diusung BKKBN karena kekerdilan membawa banyak dampak buruk bagi kualitas generasi masa depan bangsa.
Anak tidak dapat tumbuh tinggi secara optimal, kemampuan intelektual yang menjadi rendah sekaligus mudah terkena penyakit pada saat menginjak usia tua.
Baca juga: BKKBN: Remaja dapat berkontribusi cegah kekerdilan
Kekerdilan, kata Hasto, menyebabkan anak-anak di usia tua mudah terkena obesitas sentral atau gemuk di bagian tengah tubuh serta rentan terkena penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke ataupun kencing manis.
Ketiga hal tersebut karena anak tidak mendapatkan gizi yang cukup, sering terkena penyakit akibat kurangnya imunisasi serta buruknya pola pengasuhan keluarga pada saat 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
“Salah satu penyebab 'stunting' adalah pengasuhan yang tidak bagus di dalam keluarga. Itu menyebabkan anak tidak gembira, kemudian tidak memiliki nafsu makan dan berakhir terkena :stunting',” kata Hasto.
Baca juga: BKKBN: Pertajam data keluarga agar kekerdilan diatasi tepat sasaran
Guna memutus mata rantai kekerdilan di dalam keluarga, Hasto meminta para calon pengantin untuk menjalankan peraturan yang telah diresmikan oleh Kementerian Agama terkait pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum calon pengantin menikah.
Hal itu dimaksudkan agar kesehatan calon pengantin dapat diketahui dan dikoreksi oleh tim pendamping keluarga, bila hasilnya tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Misalnya, lingkar lengan ibu harus 23 centimeter atau Hemoglobin (Hb) dalam darahnya mencapai 11,5.
Baca juga: Tim UI lakukan penelitian kasus tengkes di Temanggung-Jateng
Di sisi lain, Hasto menekankan lewat pemeriksaan itulah dapat diketahui kesiapan calon ibu untuk dapat hamil bahkan sebelum melangsungkan pernikahan.
“Pak Menteri Agama sudah mendeklarasikan semua (calon pengantin) harus periksa sebelum menikah. Kalau hasilnya tidak sehat, tetap dinikahkan tapi dibimbing oleh TPK selama tiga bulan. Jadi jangan hanya pikirkan soal pre-wedding, pre-konsepsi itu penting,” ucap dia.
Baca juga: Guru Besar: Fase menyusui penting cegah tengkes pada anak
Baca juga: BKKBN: 147.657 KK di Maluku berkategori risiko tengkes
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022