“Sebelum ada UU TPKS, tidak ada payung hukum untuk hak korban,” kata Maidina ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Undang-undang sebelumnya, seperti Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) maupun Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) memang mengatur hak korban yang lebih kuat, akan tetapi dalam lingkup yang spesifik.
Baca juga: LPSK sebut ada 7 muatan progresif dalam UU TPKS
Sedangkan, UU TPKS akan mewadahi semua bentuk kekerasan seksual. Oleh karena itu, pengesahan UU TPKS memiliki arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara guna mencegah, menangani, dan memulihkan korban kekerasan seksual secara komprehensif.
“Secara substansi UU TPKS mengatur hak yang jauh lebih dikuatkan. Ada prosedural, perlindungan, dan pemulihan, termasuk ada dana bantuan korban yang mencari metode lebih efektif untuk dapat membayar ganti kerugian korban,” ucap dia.
Baca juga: KSP: UU TPKS jadi terobosan penyusunan produk hukum yang progresif
UU TPKS, kata dia, menguatkan hukum acara dengan mengarusutamakan visum psikiatrikum yang diatur secara eksplisit dan ditanggung negara.
“Soal barang bukti bisa menjadi alat bukti. Harapannya, ini bisa memudahkan korban untuk kasusnya lebih diproses hukum dan aparat penegak hukum menggali alat bukti lain,” kata dia.
Baca juga: Menteri PPPA: Presiden Jokowi setujui RUU TPKS disahkan jadi UU
Melalui Rapat Paripurna Ke-19 DPR RI Masa Persidangan IV Tahun 2021-2022, delapan dari sembilan fraksi di DPR RI menyatakan kesepakatan mereka untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hanya terdapat satu fraksi yang menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi UU TPKS, yaitu fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022