Seri monolog "Di Tepi Sejarah" kembali tahun ini, salah satunya dengan mengangkat kisah hidup Sjafruddin Prawiranegara yang dipentaskan secara terbatas pada 14-15 April di Gedung Kesenian Jakarta dan akan ditayangkan secara daring di Indonesiana TV pada Agustus.
Pementasan yang diberi tajuk "Kacamata Sjafruddin" itu disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin dan diperankan oleh Deva Mahenra. "Di Tepi Sejarah" sendiri merupakan program seni yang dibuat Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek.
Baca juga: Deva Mahenra debut peran panggung di monolog "Di Tepi Sejarah"
Pada tahun lalu, "Di Tepi Sejarah" pertama kali hadir dengan membawa cerita empat tokoh sejarah, antara lain Muriel Stuart Walker atau Ketut Tantri, Riwu Ga, The Sin Nio alias Moechamad Moechsin, dan Amir Hamzah.
Pendiri Titimangsa Foundation sekaligus Produser "Di Tepi Sejarah" Happy Salma mengatakan pihaknya merasa perlu melanjutkan seri monolog ini sebab terdapat banyak tokoh yang perlu disaksikan pergulatan dan perjuangannya.
Happy menekankan bahwa narasi yang hendak ditawarkan dalam pentas monolog bukanlah sejarah yang absolut, justru memungkinkan terbukanya ruang interpretasi dan diskusi yang lebih luas.
"Inilah interpretasi kami. Dan kami membuka ruang diskusi, siapapun bisa menginterpretasikan. Nah, di situlah (siapapun) muncul keinginan untuk dekat dengan literasi," kata Happy saat dijumpai wartawan di Jakarta, Kamis (14/4) malam.
Produser dari KawanKawan Media Yulia Evina Bhara berharap penayangan "Di Tepi Sejarah" bisa menjadi jembatan pertemuan antara tokoh sejarah dengan penonton yang lebih luas, terutama kaum muda.
Baca juga: Main di "Serigala Langit", Deva Mahenra jadi orang paling beruntung
Selain itu, menurut Yulia, pementasan monolog dapat menjadi cara alternatif untuk mengenal tokoh-tokoh yang berada di tepian sejarah atau yang mungkin dilupakan, tidak hanya melalui buku pelajaran.
"Kami melihat dari musim sebelumnya, ada resensi-resensi yang dibuat oleh guru kemudian didiskusikan, ada pula nonton bareng. Artinya, ada banyak cara untuk kita bisa berbicara tentang tokoh sejarah yang mungkin belum diketahui atau dilupakan," kata Yulia.
Pementasan monolog menyoroti periode kala Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) atau mendapat mandat sebagai kepala pemerintahan Republik yang sah saat itu. Sjafruddin lebih memilih menggunakan istilah "ketua" sebab tidak yakin atas mandatnya untuk menggunakan kata "presiden".
Terlepas dari perdebatan sejarah mengenai pencatutan gelar "presiden kedua", sutradara Yudi Ahmad Tajudin berpendapat yang paling penting saat ini adalah orang-orang dapat mendiskusikan kembali mengenai peran Sjafruddin dalam periode sejarah tersebut melalui "Di Tepi Sejarah".
Baca juga: Balai Pustaka - Titimangsa Foundation gelar 'Puisi Cinta untuk Indonesia'
Bagi Yudi, tokoh Sjafruddin menjadi menarik apabila ditilik dari pemikirannya mengenai isu kebangsaan. Bahkan tak hanya perihal Sjafruddin, pembacaan terhadap isu kebangsaan juga bisa didapatkan melalui pemikiran para pendiri bangsa lainnya yang beragam.
"Saya kira itu yang penting, bagaimana seorang subjek atau seorang warga memikirkan kebangsaan, hal-hal yang di luar kepentingan dirinya sendiri," ujarnya.
Sementara jika direfleksikan di masa sekarang, Yudi mengatakan diskusi mengenai nilai-nilai kebangsaan dan bagaimana masyarakat harus hidup bersama dalam sebuah negeri sedemikian mudah terpolarisasikan. Padahal jika mengingat zaman saat Sjafruddin masih hidup, perbedaan pemikiran juga terjadi dan melahirkan diskusi yang kaya.
"Saya kira kalau ini diungkap, tatapan kita atas sejarah punya spektrum yang lebih luas, punya bentangan tafsir yang lebih luas. Diskusi tentang Sjafruddin menyumbang bentangan tafsir atas sejarah," kata Yudi.
Selain "Kacamata Sjafruddin", seri monolog pada tahun ini juga akan mementaskan tokoh Kassian Cephas yang merupakan fotografer profesional pertama di Hindia Belanda dan Gombloh yang merupakan musisi dan penyanyi Indonesia. "Di Tepi Sejarah" juga akan mengangkat kisah hidup komponis Ismail Marzuki dan perupa Emiria Soenassa–perempuan pelopor di bidang seni rupa Indonesia modern.
Baca juga: Gandeng Titimangsa Foundation, Balai Pustaka pentaskan konser musikal puisi cinta
Baca juga: Teater Koma gelar pertunjukan "Sampek Engtay" usai tertunda dua tahun
Baca juga: Lakon "Mereka yang Menunggu di Banda Naira" bisa ditonton gratis
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022