Menakar lonjakan COVID-19 pasca-Lebaran 2022

1 Mei 2022 13:40 WIB
Menakar lonjakan COVID-19 pasca-Lebaran 2022
Petugas memeriksa sertifikat vaksin COVID-19 dan membagikan masker bagi penumpang di Terminal Tirtonadi Solo, Jawa Tengah, Rabu (13/4/2022). ANTARAFOTO/Maulana Surya/aww.
Perilaku virus corona sudah makin banyak diketahui para pakar virologi, termasuk mutasinya, bahkan dari seorang yang terinfeksi beberapa varian virus itu dalam waktu bersamaan bisa memunculkan mutasi sehingga menghasilkan varian baru.

Saat ini sudah ada ratusan varian virus corona bermunculan, namun sebagian pula yang sudah punah sebagai seleksi alam. Yang menonjol dan dianggap harus diamati serius adalah turunan dari varian Delta dan Omicron.

Peneliti Global Health Security dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengemukakan masyarakat tidak perlu resah dengan kemunculan subvarian tersebut, sebab mutasi virus merupakan hal yang lumrah terjadi saat virus bertahan hidup dari intervensi vaksinasi.

Varian apapun yang bisa leluasa menginfeksi manusia maka akan memicu varian baru.

Thailand telah mengonfirmasi temuan varian baru COVID-19, yaitu Omicron XE, yang menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) rekombinan dari dua varian Omicron yang sudah ada, yaitu BA.1 dan BA.2.

Menurut WHO, kemampuan penularan Omicron XE sekitar 10 persen lebih tinggi daripada Omicron BA.2. Sejauh ini, menurut Kementerian Kesehatan, varian yang pertama kali ditemukan di Inggris ini belum ditemukan di Indonesia.

Sementara data WHO terbaru, selama sepekan terakhir, 18-24 April 2022, tercatat lebih dari 4,5 juta kasus baru dan 15.000 kematian dilaporkan.

Walaupun angka itu menurun signifikan dibandingkan dengan minggu sebelumnya, jumlah kasusnya masih mencemaskan. Oleh karena itu, kemunculan kembali virus yang lebih menular menjadi sangat mungkin terjadi.

Apalagi di Asia Tenggara di mana WHO mencatat jumlah kematian mingguan justru meningkat 41 persen dibandingkan dengan minggu sebelumnya.

Namun, dengan data pemerintah, di Asia Tenggara, hanya Indonesia yang menunjukkan kasus melandai dan angka kematian menurun.

Jaga imunitas

Jawaban atas berbagai kemungkinan itu adalah bagaimana meningkatkan imunitas manusia dan menjaga kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan dalam situasi apapun, termasuk saat mudik Lebaran.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali melakukan penelitian antibodi tubuh terhadap virus (sero survei) pada Maret 2022 yang menunjukkan bahwa antibodi masyarakat Indonesia meningkat menjadi 99,2 persen.

Baca juga: Menkes: Tetap pakai masker jelang Lebaran meski kasus COVID-19 rendah

Selain itu, pada pengukuran titer antibodi, ternyata kandungan antibodi per orang juga meningkat artinya imunitas orang Indonesia juga makin naik terhadap serangan virus SARS-coV-2.

Pada sero survei bulan Desember 2021, angka titer antibodi sekitar 500-600, namun pada Maret 2022 sudah di angka ribuan, sekitar 7.000-8.000.

Salah satu faktor pendukung adalah makin banyak warga Indonesia mendapat vaksin. Data per 30 April 2022, sudah hampir 200 juta warga Indonesia mendapat vaksin dosis pertama, tepatnya 199.346.528 orang, sedangkan dosis dua dan tiga (penguat) masing-masing 165.134.259 orang dan 39.555.232 orang.

Namun, dari capaian vaksinasi berdasarkan usia, justru angka vaksinasi penguat lansia yang masih rendah sehingga masih banyak potensi infeksi yang bisa menimpa kalangan lansia.

Untuk lansia yang sudah punya antibodi juga masih bisa terinfeksi dan berakibat fatal karena sebagian besar mempunyai kormobid, seperti darah tinggi dan diabetes.

Mobilitas

Saat ini, Indonesia tengah mempunyai hajat besar, mudik Lebaran, yang tidak kurang menurut versi pemerintah dilakukan 85,5 juta orang di Indonesia, artinya ada mobilitas yang luar biasa.

Lonjakan arus mudik sejak H-4 sampai H-1, sungguh luar biasa khususnya dari warga Jabodetabek yang bergerak ke barat, ke Sumatera dan ke timur, ke arah Jateng dan Jatim.

Mobilitas warga empat hari sebelum Lebaran itu membuat peluang penyebaran virus corona semakin terbuka, walaupun pemudik disiplin menggunakan masker. Ingat untuk varian Omicron yang sekarang mendominasi di Indonesia, masker dua lapis masih bisa tembus dan menginfeksi.

Jadi jangan menganggap remeh kemampuan virus untuk mencari inang-inang baru, apalagi frekuensi saling kontak fisik selama mudik semakin besar.

Sebenarnya angka mobilitas warga justru lebih besar pada dua hari pertama Lebaran karena 90 persen penduduk Indonesia pasti ke luar rumah untuk bersilaturahim sebagai budaya ketimuran. Saat ini dalam momentum Lebaran, lumrah orang non-Muslim juga ikut berkeliling saling memaafkan dengan tetangga mereka dalam satu rukun tetangga.

Mobilitas dalam konteks Lebaran itu tidak hanya mudik ke kampung halaman tetapi juga mereka yang bergerak untuk silaturahim paling tidak ke kerabat yang masih satu kota atau wilayah aglomerasi.

Untuk kaum Muslim paling tidak setengah anggota keluarga akan berbondong-bondong menuju Shalat Idul Fitri di lapangan atau masjid yang saat ini sudah dibolehkan. Usai Shalat Id, sebagian lagi pasti berkumpul antara beberapa keluarga dalam sebuah keluarga besar.

Jadi dalam hari pertama dan kedua Lebaran, mobilitas warga Indonesia menjadi luar biasa. Budaya setiap silaturahim disertai jabat tangan dan belum ada angka pasti yang menyurvei berapa kali satu orang bersalaman selama dua hari pertama Lebaran itu.

Baca juga: Satgas COVID-19 ajak masyarakat tetap disiplin prokes saat Ramadhan

Budaya ewuh pakewuh dan adat ketimuran menghadapi orang yang lebih tua di Indonesia membuat potensi kontak fisik bersalaman semakin besar.

Jika minimal satu orang kontak dengan tiga keluarga beranggota empat orang, maka terjadi kontak 12 kali. Jadi dalam dua hari Lebaran bisa memunculkan kontak salam 12 dikali jumlah orang yang bersilaturahim.

Angkanya bisa miliaran kontak fisik yang terjadi. Ini yang perlu diwaspadai karena potensi penyebaran virus corona masih menghantui.

Melonjak

Mobilitas warga di Indonesia sudah terbukti meningkatkan angka terinfeksi virus corona. Usai Lebaran 2020 dan 2021, serta libur akhir tahun 2020 dan 2021, kasus baru COVID-19 selalu melonjak.

Sebagai catatan terakhir, jumlah kasus harian COVID-19 pada Ramadhan 1442 Hijriah masih pada kisaran 5.000 sampai 6.000 kasus, namun empat minggu setelah Lebaran lonjakannya mulai terlihat di atas 8.000 kasus dengan rata-rata kasus harian dari tanggal 10 sampai 16 Juni 2021 sebesar 8.631 kasus.

Pada 16 Juni 2021, Satgas Penanganan COVID-19 menyatakan telah terjadi penambahan pasien positif COVID-19 sebanyak 9.944 orang atau mendekati 10.000 kasus.

Jika dibanding rata-rata sepekan sebelum Lebaran yang hanya 5.000 kasus maka kenaikan kasus harian sudah mencapai 72 persen, sesuai dengan prediksi sebelumnya yaitu ada kenaikan antara 50-70 persen jumlah kasus harian sebulan setelah Lebaran.

Saat itu, dominasi masih varian Delta, sementara saat ini didominasi varian yang lebih menular yaitu Omicron. Jadi secara teori kemungkinan lonjakan infeksi pasti terjadi, walaupun gejala yang terjadi ringan seperti flu biasa.

Saat ini tingkat positif atau positivity rate nasional harian untuk spesimen adalah dua persen atau jauh di bawah angka positivity rate Ramadhan 2021 yang ada di kisaran 11 persen.

Makin kecil angka ini artinya virus makin bisa dikendalikan penyebarannya. Standar WHO untuk angka ini adalah lima persen yang menandakan penyebarannya masih bisa dikendalikan.

Penggunaan masker

Potensi penularan COVID-19 masih tetap ada pada libur lebaran 2022 sehingga untuk mencegah jangan terjadi lonjakan usai Lebaran, yang utama penggunaan masker. Penggunaan masker yang benar dan pemilihan masker yang baik, mampu mengurangi potensi penularan melalui saluran pernafasan.

Kedua, yang perlu dicegah adalah kontak jabat tangan yang bisa menjadi sarana transmisi virus karena tangan lebih sering kontak dengan bagian lain apalagi saat masker dilepas seperti momen makan bersama.

Kalaupun ada kontak jabat tangan, maka jangan lupa segera mencuci dengan sabun atau cukup diolesi penyanitasi tangan. Jadi kalau bisa siapkan penyanitasi tangan dalam botol-botol kecil yang mudah dibawa-bawa.

Ketiga adalah tidak berlama-lama dalam kerumunan untuk saling ngobrol yang bisa memicu potensi penularan. Kerumunan pasti terjadi dalam lingkup keluarga dan jangan lupa potensi penularan dalam keluarga itu 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penularan di area publik.

Baca juga: Pemkab Bantul ingatkan masyarakat taat prokes saat merayakan lebaran

Jaga jarak sepertinya sudah banyak diabaikan masyarakat khususnya selama berdiri masuk antrean. Antrean ke loket tiket, antrean belanja dan antrean ke toilet saat ini mulai diabaikan sehingga perlu sikap mawas diri untuk tetap jaga jarak apapun kondisinya.

Keempat, jaga kaum lansia dari kontak langsung dengan mereka yang ingin menghormati tradisi cium tangan orang tua, karena saat ini angka vaksinasi penguat untuk lansia di Indonesia masih kecil, yaitu 27,2 persen, sehingga banyak imunitas lansia yang sudah menurun.

Kelima, pengelola tempat wisata, pusat kuliner dan perbelanjaan harus diingatkan kembali tentang kapasitas tampung sesuai tingkat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) setempat.

Selain itu sarana prokes dan menyediakan pegawai yang sudah tervaksin menjadi bagian penting pencegahan penularan COVID-19.

Upaya menjaga disiplin prokes bukan hanya tugas kepolisian, satgas, atau Satpol PP karena dalam adaptasi kebiasaan baru, setiap individu mempunyai kewajiban melindungi diri dan orang lain di sekitarnya dari paparan virus yang mungkin akan terus ada.

Hidup berdampingan dengan corona nantinya sama seperti kita berdampingan dengan virus influensa dan virus lain yang sudah lebih dahulu ada.

Baca juga: Kemenag: Silakan mudik tapi tetap jaga prokes
Baca juga: Dokter: Silaturahim saat mudik tetap perhatikan protokol kesehatan
Baca juga: "Jogoboro" dilibatkan bantu awasi prokes libur Lebaran di Yogyakarta

Pewarta: Budhi Santoso
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022