• Beranda
  • Berita
  • ANTARA: Media massa punya peran menurunkan angka stunting di Indonesia

ANTARA: Media massa punya peran menurunkan angka stunting di Indonesia

14 Juni 2022 19:01 WIB
ANTARA: Media massa punya peran menurunkan angka stunting di Indonesia
Direktur Pemberitaan Kantor Berita Antara Ahmad Munir (kiri) bersama Direktur Corporate Affairs Japfa Rachmat Indrajaya (tengah) dalam media gathering Apresiasi Karya Jurnalistik Japfa di Jakarta, Selasa (14/6/2022). ANTARA/Sugiharto purnama.
Direktur Pemberitaan Kantor Berita Antara Ahmad Munir mengatakan langkah menurunkan angka stunting di Indonesia memerlukan aksi kolaborasi dari banyak pihak mulai dari pemerintah, akademisi, perusahaan swasta, hingga media massa.

"Pemangku kepentingan wartawan banyak, ada pemerintah, masyarakat, akademisi, dan perusahaan-perusahaan swasta. Ketika tulisan menyentuh terhadap kepentingan pemerintah, maka pemerintah yang kita dorong untuk mempercepat solusi terkait dengan stunting ini," ujarnya dalam konferensi pers Apresiasi Karya Jurnalistik Japfa di Jakarta, Selasa.

Munir mengungkapkan angka stunting di Indonesia terbilang tinggi berada pada level 24 persen dan ditargetkan turun ke angka 14 persen pada tahun 2024 mendatang.

Baca juga: LKBN ANTARA dorong media dukung pemerintah turunkan angka stunting

Menurutnya, pemerintah melakukan akselerasi ambisius untuk menurunkan angka stunting itu melalui alokasi pendanaan sebesar Rp44 triliun dengan rincian Rp34 triliun melalui program pemerintah pusat dan sisanya Rp10 triliun melalui program pemerintah daerah.

"Agenda stunting sudah tidak bergeser dari 10 agenda nasional tahun ini. Oleh karena itu, inilah kesempatan yang baik bagi wartawan untuk mengeksplorasi terkait stunting di Indonesia," kata Munir.

Lebih lanjut ia berpesan bahwa ruang stunting terbuka lebar bagi para wartawan untuk melakukan eksplorasi, mengunjungi wilayah-wilayah yang masih banyak kasus stunting, melakukan berbagai observasi dan riset, hingga melakukan pendalaman dengan para ahli maupun pakar.

Apabila wartawan semakin banyak mengeksplorasi terhadap materi-materi stunting dan semakin mendalami isu itu, maka tulisan-tulisan yang dimuat di media massa akan memiliki poin yang tinggi.



"Di sini dibutuhkan sebuah kemampuan komprehensif dari wartawan, kemampuan melakukan riset, kemampuan melakukan observasi, kemampuan melakukan pendalaman berbicara dengan narasumber dan pakar, serta kemampuan untuk melakukan kolaborasi. Stunting bukan hanya persoalan pemerintah, peneliti, perusahaan swasta, ataupun media, tetapi persoalan kita semua," ucap Munir.

Pewarta Foto Kantor Berita Reuters Beawiharta mengatakan bahwa berita buruk adalah berita baik bagi media massa. Namun, menjadi wartawan harus memiliki tanggung jawab sosial dalam arti bila melepas foto atau berita harus berpikir efek yang ditimbulkan terhadap publik yang melihat atau membaca berita itu.

"Makin dramatis fotonya, makin jelek ceritanya, itu artinya makin bagus beritanya. Tapi sesungguhnya menjadi wartawan itu kita punya apa yang disebut tanggung jawab sosial," kata Beawiharta.

Dalam kasus stunting, ungkapnya, fotografer otomatis merujuk dan mengekspose kepada anak-anak dengan fisik kurus dan tumbuh kembang mereka tidak sempurna karena stunting. Padahal ada banyak sudut pandang yang bisa diambil secara visual dalam upaya mencegah stunting, seperti berbagai sosialisasi di posyandu hingga kegiatan para peternak yang menyiapkan hewan-hewan untuk dikonsumsi.

Seperti diketahui, media massa berperan dalam proses pembangunan melalui posisinya sebagai agen perubahan. Isu stunting yang kini masih menjadi tantangan di Indonesia memerlukan jembatan dari media massa untuk menyampaikan pesan, pemikiran, harapan, dan pembelajaran bagi semua pihak agar dapat berkolaborasi dalam menurunkan angka stunting secara signifikan.

Baca juga: JAPFA buka lomba AKJJ apresiasi jurnalis sebarkan edukasi stunting

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022