• Beranda
  • Berita
  • Ahli: Asupan protein hewani pada anak usia 7-35 bulan sangat rendah

Ahli: Asupan protein hewani pada anak usia 7-35 bulan sangat rendah

14 Juni 2022 20:53 WIB
Ahli: Asupan protein hewani pada anak usia 7-35 bulan sangat rendah
Potret Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Drg. Sandra Fikawati, MPH (berbaju pink) dalam konferensi pers yang diikuti ANTARA di Jakarta, Selasa (14/6/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH membeberkan bahwa asupan protein hewani pada anak usia tujuh sampai dengan 35 bulan di Indonesia masih sangat rendah.

“Tidak ada zat gizi lain yang dapat menggantikan peran protein dalam membantu pertumbuhan serta proses regenerasi sel tubuh manusia. Sayangnya, tidak banyak masyarakat yang memahami bahwa pemilihan jenis protein dalam konsumsi harian sangat penting,” kata Sandra dalam Konferensi Pers yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Menkes ingatkan pentingnya asupan protein demi cegah anak stunting

Sandra menyebutkan, berdasarkan data Survei Konsumsi Makanan Individu 2014, jumlah protein hewani berupa susu dan olahan yang dikonsumsi oleh anak berusia tujuh sampai dengan 11 bulan hanya menyentuh angka 1,9 persen. Sedangkan untuk makanan seperti telur dan olahannya hanya menyentuh 0,1 persen.

Dalam data juga disebutkan bahwa anak usia tersebut, lebih banyak mendapatkan asupan gizi dari sumber lain. Seperti serealia 95,8 persen, umbi-umibian 0,6 persen, kacang-kacangan 0,9 persen serta buah dan olahan 0,6 persen.

Baca juga: Ahli ingatkan pentingnya konsumsi protein hewani cegah stunting

Pada anak usia satu hingga tiga tahun, jumlah asupan protein hewani yang diterima melalui daging dan olahan hanya menyentuh 0,1 persen. Kemudian gizi yang berasal dari susu dan olahan menyentuh angka 0,9 persen.

Sayangnya, asupan gizi yang diterima melalui serelia pada usia ini lebih buruk, yakni mencapai 98,5 persen. Diikuti umbi-umbian 0,5 persen dan kacang-kacangan 0,1 persen.

Baca juga: Konsumsi protein hewani Kaltim di atas nasional

“Kondisi ini sudah ada sejak tahun 2014. Kita sudah tahu seperti itu, tapi tidak ada program untuk memberikan makanan protein hewani kepada anak-anak. Seharusnya kita terketuk, lihatlah situasi ini, di usia satu sampai tiga tahun justru lebih jelek lagi,” ucap Sandra.

Sementara pada usia nol hingga enam bulan, data menunjukkan sebesar 70 persen asupan protein yang diterima bayi berasal dari ASI eksklusif yang diberikan oleh ibu saat menyusui.

Baca juga: LKBN ANTARA dorong media dukung pemerintah turunkan angka stunting

Hal tersebut perlu benar-benar dikritisi oleh semua pihak kata Sandra, karena protein hewani sangat penting di dalam aktivitas anak sehari-hari. Protein hewani termasuk ke dalam zat gizi mikro yang bisa mengoptimalkan pertumbuhan anak, terbentuknya daya tahan tubuh yang kuat serta penyembuhan dan massa otot.

Dengan demikian, Sandra meminta masyarakat sejak awal untuk lebih peduli dan mengetahui bahwa pemberian asupan protein menjadi asupan yang sangat penting guna mencegah anak terkena kekerdilan (stunting).

Baca juga: Japfa komit dukung pemerintah turunkan angka stunting di Indonesia

Masyarakat perlu memahami bahwa sumber protein terbagi menjadi dua, yakni protein hewani yang berasal dari hewan dan memiliki protein yang lebih baik karena punya asam amino esensial (AAE) yang lebih lengkap seperti daging, susu, telur dan ikan, juga protein nabati dari tumbuhan seperti tempe dan tahu.

“Terkadang suka ada orang yang menyebutkan kita hanya ingin makan tahu tempe tidak makan protein hewani itu tidak bisa seperti itu. Kualitasnya berbeda, jika kita lihat protein itu ada dua jenis, yakni protein hewani yang berasal dari hewan dan memiliki kualitas protein lebih baik dan protein nabati tumbuhan,” ujar dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022