Bahasa Indonesia mereka bagus, cuma pengertiannya kurang. Di sekolah bahasa daerah dilarang tapi baca dan menulis ini yang masih terlihat sekali
Guru dari Sekolah Dasar (SD) YPPK Warse, Kabupaten Asmat, Papua, Blandina Kanubun mengatakan Suku Asmat mengalami kekurangan guru dalam melangsungkan kegiatan pembelajaran dan juga untuk mengimbangi jumlah siswa yang terus meningkat.
“Guru di kampung ada lima orang termasuk kepala sekolah. Kepala sekolah mengajar juga, biasanya kelas lima dan enam digabung karena petugas sedikit,“ kata Dina saat ditemui ANTARA di Kampung Warse, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu.
Dina menuturkan saat ini jumlah siswa SD yang ada di tiga kampung yakni Kampung Warse, Kampung Akamar dan Kampung Birak sudah mencapai 179 orang. Namun, jumlah tenaga pendidik hanya ada lima orang sudah termasuk kepala sekolah.
Baca juga: Disdik: Pola belajar Asmat tak bisa disamakan dengan anak pada umumnya
Ruang kelas yang digunakan untuk pembelajaran pun hanya ada tiga kelas. Apabila jumlah guru lengkap, kelas akan penuh dengan anak-anak sampai sekolah harus meminjam ruangan lain seperti aula gereja, dalam gereja dan balai pertemuan untuk mengajar.
Tetapi bila guru tidak hadir, anak-anak yang hadir akan sedikit. Menyebabkan penggabungan kelas dan dibagi menjadi tiga.
“Jadi kadang kalau kelas kurang mereka di gereja, balai atau di teras gereja. Itu kalau lengkap, kalau guru tidak lengkap kelas satu dan dua satu kelas, tiga dan empat satu kelas, lima dan enam satu kelas,” ujar Dina yang menjadi guru kelas dua SD itu.
Baca juga: Anak-anak Suku Asmat masih terkendala mengakses pelayanan pendidikan
Akibat dari kurangnya jumlah guru tersebut, masih ditemukan banyak siswa pada setiap tingkat kelas belum fasih membaca, menulis maupun berhitung. Sehingga materi belajar hanya sekadar mengenal huruf, belajar membaca dan menulis, itu pun dipukul rata meski pada usia berbeda.
Dina menyebutkan pada kelas dua, dari 32 siswa, hanya ada lima anak yang sudah lancar membaca. Sedangkan pada kelas satu hanya ada sekitar dua orang.
“Bahasa Indonesia mereka bagus, cuma pengertiannya kurang. Di sekolah bahasa daerah dilarang tapi baca dan menulis ini yang masih terlihat sekali,” ucap dia.
Baca juga: Guru tanam kebun sayur tingkatkan motivasi belajar anak Suku Asmat
Dina menambahkan tak jarang anak jadi putus sekolah karena sudah malas belajar dan memilih untuk bermain atau menjaga saudara di rumah. Hal itu juga di dorong dengan acuhnya orang tua pada pendidikan anak.
“Kelas satu sudah ada, tapi kelas dua makin banyak. Kadang ada lima orang tidak banyak banyak. Kemarin 13 orang kelas enam SD. Putus sekolah malas, tidak ada guru ataupun dorongan dari orang tua di rumah,” kata dia.
Sedangkan guru yang mengajar di kelas enam SD, Mariyata Konrada Waragan turut mengaku sudah mengikuti keinginan pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk memberikan pelajaran membaca dan menulis melalui Kurikulum 2013 (K13).
Sayangnya, banyak anak yang belum bisa membaca dan menulis membuat sulitnya para guru untuk melanjutkan ke materi pelajaran lainnya. Apalagi mengikuti metode pembelajaran di kota, sehingga guru melakukan kreasi seperti membuat kebun sayur sebagai media pembelajaran yang sesuai dengan anak Asmat.
Mariyata membeberkan anak Asmat juga lebih senang diajak untuk menghafal bagian-bagian tubuh manusia ataupun hewan secara langsung, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Belajar di ruang terbuka dengan mengamati secara langsung sambil bermain menjadi kreasi pembelajaran yang paling tepat dan cepat bagi anak Suku Asmat pahami. Lewat metode pembelajaran itu, hanya ada dua anak dari 13 yang tidak diterima di SMP.
“Memang kalau di sini kita mau mengikuti yang di Jakarta, itu tidak bisa sama sekali. Sedangkan kelas lima, enam saja bacanya belum lancar. Ada yg baru mengenal huruf saja. Tapi kita berusaha dengan materi itu bisa diikuti dengan baik,” kata dia.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2022