Gejolak kondisi global yang dimaksud yakni pandemi COVID-19 yang masih melanda dunia, konflik geopolitik Rusia dan Ukraina, kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, dan kebijakan Zero COVID-19 atau penguncian ketat di Tiongkok.
"Misalnya konflik geopolitik mengakibatkan krisis energi kenaikan harga minyak dunia, akibatnya pemerintah harus mengubah salah satu asumsi APBN yaitu harga minyak," ujar Direktur Program Indef Esther Sri Astuti kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan asumsi harga minyak Indonesia disesuaikan dengan kenaikan harga minyak global, akibatnya pengeluaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) di APBN juga akan naik.
Demikian pula dengan dampak kenaikan suku bunga Fed yang akan menarik investor menanamkan modalnya ke Negeri Paman Sam, sehingga dolar AS akan menguat terhadap rupiah.
Sebagai akibatnya, asumsi nilai tukar dalam APBN juga harus diubah, serta berpengaruh pada pengeluaran dan penerimaan anggaran dalam kas negara.
Menurut Esther, kenaikan pengeluaran anggaran di APBN tentunya akan memperkecil ruang fiskal pemerintah.
"Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun akan melambat karena anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan berkurang," ujarnya.
Dengan berbagai risiko global yang ada saat ini, dirinya memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 hanya akan tumbuh dalam kisaran empat persen pada tahun ini, angka tersebut di bawah target pemerintah yang sebesar 5,2 persen.
Baca juga: Presiden: Gejolak ekonomi politik global harus jadi pemahaman bersama
Baca juga: Menko Airlangga bahas penanganan krisis global dengan UNCESCAP
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022