• Beranda
  • Berita
  • Cuti melahirkan enam bulan pekerja berpotensi kehilangan pendapatan

Cuti melahirkan enam bulan pekerja berpotensi kehilangan pendapatan

27 Juni 2022 21:59 WIB
Cuti melahirkan enam bulan pekerja berpotensi kehilangan pendapatan
Ilustrasi - Perempuan pekerja menyortir biji kopi kering di pabrik kopi PT Perkebunan Nusantara IX, Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (24/7/2019). (Dok ANTARA)

cuti enam bulan bisa memberatkan pihak perusahaan, dan negara harus hadir membantu menanggungnya.

Perkumpulan pengajar dan praktisi hukum ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) menyebutkan, bahwa dampak cuti melahirkan selama enam bulan bagi pekerja berpotensi kehilangan pendapatannya.

"Sebenarnya dari sisi pekerja cuti persalinan selama enam bulan akan berdampak atas kehilangan seluruh ataupun sebagian pendapatan mereka," ucap Ketua II P3HKI, Ahmad Ansyori di Medan, Senin.

Hal ini diungkapkannya menanggapi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang segera disahkan menjadi inisiatif DPR dalam rapat paripurna di Jakarta, Kamis (30/6).

Selain itu, lanjut dia, terdapat beberapa pasal, seperti Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 RUU KIA bersinggungan dengan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan masih ada kerancuan dalam RUU itu.

"Masih ada kerancuan, seperti Pasal 6 memberikan ketentuan maksimal bagi suami sebagai pendamping berhak dapatkan cuti selama 40 hari," tutur Ahmad yang merupakan mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Dewan pakar P3HK, Prof Aloysius Uwiyono dalam diskusi kelompok RUU KIA pekan lalu mengatakan cuti enam bulan bisa memberatkan pihak perusahaan, dan negara harus hadir membantu menanggungnya.

"Jika pemerintah tidak bisa membantu, maka tidak bisa terlaksana. Ada jalan atau cara lain yakni melalui perjanjian kerja bersama yang disepakati pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh," katanya.

Ahmad Ansyori dalam diskusi ini memberi masukan tiga poin, yakni pemikiran RUU KIA jangan sampai mengurangi hak publik lainnya, dan pengaturan ketenagakerjaan merupakan porsi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

"Ini porsi Kemnaker, sehingga aturan teknis cuti bersalin sebaiknya dibuat oleh Kemnaker agar koordinasi regulasi ketenagakerjaan tidak meluas ke instansi lain," ucapnya yang juga mantan direksi BPJS Ketenagakerjaan semasa bernama BP Jamsostek ini.

"Ketiga pembiayaan hak maternity leave (cuti hamil) bagian kecil RUU KIA, dan hal besarnya adalah hak komprehensif bagi perempuan menjelang persalinan. Kewajiban pemerintah pusat atau daerah membiayai, selain cuti hamil," tutur Ahmad.

Ketua Umum P3HKI, Dr Agusmidah mengungkapkan bahwa pihaknya ingin membantu pemerintah atas RUU KIA yang bersinggungan UU Ketenagakerjaan, khususnya hak istirahat atau cuti melahirkan.

Dia mengutarakan sebenarnya sudah ada pengaturan cuti enam bulan seperti di Aceh, tapi hanya berlaku bagi ASN dan usulan menambah jangka waktu cuti melahirkan sudah banyak terjadi dengan latar belakang kesehatan.

"Ini 'Political will' sudah jelas, pemerintah, pekerja dan perusahaan sepakat untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pekerja perempuan," terang Agusmidah yang merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Baca juga: Pengusaha minta kajian mendalam kebijakan cuti melahirkan 6 bulan
Baca juga: BKKBN sambut baik wacana cuti melahirkan enam bulan
Baca juga: Komnas Perempuan sambut baik wacana cuti melahirkan enam bulan

Pewarta: Muhammad Said
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022