"Resiliensi dari capital market bisa kita lihat terkait dengan kinerja saham, obligasi, dan juga rupiah secara year to date. Kalau kita ambil contoh pasar saham kita, kinerja JCI (IHSG) year to date memberikan return katakanlah kemarin itu 6,6 persen," ujar Djumala saat jumpa pers daring yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Menurut Djumala, apabila dibandingkan dengan kinerja indeks saham di bursa kawasan Asia lainnya, hanya Singapura yang indeks sahamnya memiliki kinerja yang juga positif.
"Dalam hal ini resiliensinya cukup bagus, terutama karena memang tema yang diusung untuk pasar Indonesia yang menarik flow dari investor luar yaitu commodity-related investor," kata Djumala.
Dari sisi obligasi, secara year to date (ytd) imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun telah meningkat 0,9 persen dibandingkan obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang naik 1,6 persen.
"Terakhir rupiah, pelemahan rupiah year to date itu mungkin tidak sampai 4 persen terhadap dolar AS, tapi kalau kita lihat regional currencies mungkin range pelemahan sudah di atas 4 persen," ujar Djumala.
Djumala menambahkan, tekanan inflasi global memang menjadi kekhawatiran investor. Inflasi sejak tahun lalu menjadi momok di berbagai negara karena adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran.
"Jadi demand karena pembukaan kembali ekonomi, dan supply karena memang masih ada gangguan dari rantai pasokan. Dan itu diperparah dengan konflik geopolitik antar Rusia dan Ukraina," katanya.
Terkait konflik Rusia-Ukraina, inflasi sendiri dikontribusikan oleh kenaikan harga energi dan makanan. Untungnya, lanjut Djumala, posisi indonesia relatif lebih bagus dari negara lain karena Indonesia merupakan net export komoditas yang justru diuntungkan dengan kenaikan harga-harga komoditas.
Dengan demkian, dari sisi kinerja ekspor justru membaik dan dari sisi penerimaan pemerintah baik pajak maupun non pajak yang terkait dengan ekspor komoditas juga positif.
"Jadi terkait dengan tekanan inflasi sebenarnya bisa diredam, seperti misalnya pemerintah sudah mengalokasikan sebagian dari excess revenue ini untuk subsidi sehingga bisa menunda atau menahan laju inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan BBM," ujar Djumala.
Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Raden Pardede juga mengatakan bahwa kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia dan Ukraina memberikan keuntungan tersendiri bagi Indonesia dan diproyeksikan akan terus berlanjut hingga tahun depan.
"Kita sangat diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas, kita net exporter. Kita lihat dari trade balance kita, penerimaan devisa kita, itu sangat bagus di tahun 2022 dan mungkin juga berlanjut di 2023 sebagian," ujar Raden Pardede.
Baca juga: BI: Modal asing masuk 1,5 miliar dolar AS sejak April sampai 21 Juni
Baca juga: OJK: Kepercayaan investor terhadap pasar modal kian tinggi
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022