• Beranda
  • Berita
  • BKKBN: Kemiskinan bukan penyebab utama terjadinya stunting

BKKBN: Kemiskinan bukan penyebab utama terjadinya stunting

1 Juli 2022 14:46 WIB
BKKBN: Kemiskinan bukan penyebab utama terjadinya stunting
Ilustrasi kasus stunting yang menyebabkan pertumbuhan anak tidak normal sesuai usianya. Antara/ Ist

Pengetahuan minim saat sebelum menikah bisa menyebabkan terjadinya stunting

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa kemiskinan bukan penyebab utama terjadinya kekerdilan pada anak (stunting) di Indonesia.
 

“Kemiskinan bukan satu-satunya permasalahan dalam masalah stunting. Pengetahuan yang minim saat sebelum menikah, hamil dan pola asuh yang salah terhadap anak juga bisa menyebabkan terjadinya stunting,” kata Penyuluh KB Utama BKKBN Siti Fathonah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
 

Berdasarkan data dari survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2021, angka prevalensi stunting secara nasional masih ada di angka 24,4 persen. Artinya masih ada sekitar enam juta anak yang mengalami gagal pertumbuhan atau dalam kondisi stunting.
 

Fathonah menuturkan seringkali banyak pihak menyalahkan bahwa tingkat kemiskinan identik dengan pendapatan yang rendah sehingga asupan gizi anak tidak maksimal. Sayangnya, stunting dapat terjadi meski seorang anak berada di dalam keluarga yang kaya sekalipun.

Baca juga: BKKBN: Perlu peran aktif masyarakat untuk atasi kekerdilan

Baca juga: Lansia punya peran dalam mencegah anak terkena kekerdilan

 

Sebab permasalahan stunting di Indonesia, cederung terjadi akibat pola asuh yang salah diterapkan dalam keluarga dan minimnya pengetahuan terkait kesehatan perempuan dan anak bahkan sejak sebelum pernikahan.
 

Dengan demikian, supaya anak terhindar dari stunting, kata Fathonah, calon pengantin perempuan disarankan untuk memeriksakan kesehatannya mulai dari pemeriksaan lingkar lengan, berat badan, dan tinggi badan. Kemudian pemeriksaan hemoglobin (Hb) untuk mengetahui apakah calon ibu memiliki anemia.
 

Fathonah menambahkan untuk ibu hamil, gizi yang diberikan oleh keluarga harus seimbang. Pemeriksaan kehamilan untuk memantau tumbuh kembang janin juga harus rutin dilakukan.
 

"Kalau dari semua indikator itu ada yang merah, dia diminta ke puskesmas agar mendapat treatment. Makanya tiga bulan sebelum menikah harus mendaftar di aplikasi Elsimil (Elektronik Siap Nikah Siap Hamil) agar terkontrol," ujar Fathonah.
 

Sementara pada hari pertama kelahiran bayi, jika bayi terlahir dengan berat badan di bawah 2,5 kilogram dan panjang di bawah 48 sentimeter, bayi dapat dikatakan masuk kategori.
 

Dengan demikian, dirinya menekankan bayi sampai usia enam bulan, harus diberikan ASI eksklusif dan secara penuh sampai enam bulan dilanjutkan dengan Makanan Pendamping ASI (MPASI).
 

Fathonah melanjutkan BKKBN sendiri sudah membentuk Tim Pendamping Keluarga (TPK) supaya pengetahuan dan kesehatan keluarga dapat dikawal dengan baik.
 

Di mana terdapat lima sasaran dari tim tersebut dalam menurunkan angka stunting yakni calon pengantin, ibu hamil, bayi dua tahun (baduta), bayi lima tahun (balita) dan ibu pasca bersalin. Kelima sasaran tersebut nantinya akan dilakukan inkubasi dan perhatian khusus.
 

"Inilah pentingnya memberikan edukasi kepada masyarakat. BKKBN melalui kelembagaanya ada Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), satgas stunting, Tim Pendamping Keluarga (TPK) di desa, terus memberikan edukasi kepada masyarakat," kata dia.

Baca juga: Kemenko PMK ajak keluarga Indonesia cegah stunting

Baca juga: Hari Keluarga Nasional jadi daya ungkit percepatan penurunan stunting

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022