Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, pemberian air gula pada anak hanya akan menurunkan nafsu makan dan memperbesar potensi terjadinya kekerdilan pada anak (stunting).
“Air gula itu memang tidak berbahaya, tapi kurang manfaat. Itu hanya mengandung unsur karbohidrat. Karbohidrat memang diperlukan, tapi protein itu penting sekali,” kata Hasto saat ditemui ANTARA di Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis.
Baca juga: Warga Manfaatkan Air Gula Aren Pengganti Susu
Menanggapi masih banyak keluarga yang salah mengartikan air gula sebagai sumber gizi pengganti susu formula, Hasto menuturkan bila kandungan karbohidrat dari air gula sangat tinggi dan menurunkan nafsu makan anak.
Hal itu disebabkan karena anak lebih dahulu kenyang dan terlanjur menikmati rasa manis dalam kandungan gula. Akibatnya, anak cederung akan menolak saat diberikan makanan lain seperti buah dan ASI ibu.
“Jadi anak seperti itu, belum apa-apa sudah dikasih air gula, dia justru senang itu. Kita saja kalau haus karena kepanasan lalu dikasih es teh, begitu disuruh makan buah tidak mau, suruh minum susu tidak mau. Itu kesalahan kita begitu,” ucap Hasto.
Baca juga: BRIN: Teknologi nuklir bisa berperan cegah "stunting" di Indonesia
Hasto menyarankan, lebih baik anak diberikan makanan seperti bubur, nasi ataupun makanan berprotein tinggi seperti telur dan ikan kembung sebagai pengganti air gula, agar asupan gizi anak tetap terjaga. Apalagi dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang harus benar-benar dimaksimalkan.
“Jadi pendampingan lebih penting dibandingkan pemberian makanan atau bantuan lain dalam mengentaskan stunting. Apalagi bantuan makanan yang cut and run. Kasih lalu pergi, itu stunting tidak akan turun. Makanya kalau kasih harus enam bulan dan makanannya harus gizi seimbang,” kata Hasto.
Baca juga: Kasus balita kekerdilan di Jatim turun selama tiga tahun terakhir
BKKBN sendiri, kata Hasto, sudah membentuk tim pendamping keluarga (TPK) yang diharapkan dapat mengedukasi sebanyak 90 persen keluarga di seluruh Indonesia terkait masalah stunting ataupun manajemen gizi pada keluarga.
Pengawalan juga dilakukan dalam sektor kesehatan sebelum pasangan usia subur (PUS) menikah, baik mengukur kadar hemoglobin (Hb) dalam darah, lingkar lengan atas dan lain sebagainya. Hasil dari pengawalan kesehatan tersebut kemudian akan dimasukkan ke dalam aplikasi bernama Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil).
Baca juga: TNI AD olah lahan kosong dukung ketahanan pangan cegah kekerdilan
Dengan hadirnya TPK yang dapat menyosialisasikan serta meningkatkan pengetahuan kesehatan keluarga, Hasto berharap TPK dapat lebih gencar dan rajin mendatangi tiap rumah agar data-data yang terkumpul selalu terupdate dan tidak ada keluarga berisiko stunting yang lolos dari pengawalan.
“Kita sudah berikan pulsa setiap bulan itu Rp100 ribu ke TPK untuk kirim informasi supaya update, petunjuknya sudah ada. Yang dikirim tinggi badannya, terus kalau kurang dari 48 sentimeter, kalau 46 misalnya, langsung aplikasi kita bunyi kalau anaknya stunting,” ujar dia.
Baca juga: Keluarga garda terdepan lindungi anak dari ancaman kekerdilan
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022