Kita bicara COVID-19 ya, ada yang jelek dan ada yang bagus. Yang bagus adalah karena tidak ada pekerjaan di kota, mereka kembali ke desa dan ternyata di desa itu peluangnya lebih banyak
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membeberkan Indonesia sedang menghadapi sebuah fenomena yakni reurbanisasi di mana penduduk desa yang pergi ke kota datang kembali ke desa pada masa pandemi COVID-19.
“Ini adalah sebuah fenomena, tapi kalau kita lihat kemarin, kita bicara COVID-19 ya, ada yang jelek dan ada yang bagus. Yang bagus adalah karena tidak ada pekerjaan di kota, mereka kembali ke desa dan ternyata di desa itu peluangnya lebih banyak,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat ditemui ANTARA dalam Peringatan Hari Kependudukan Dunia 2022 di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan terjadinya fenomena reurbanisasi disebabkan karena tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penduduk di kota sejak terjadinya pandemi COVID-19. Begitu kembali ke desa, mereka justru menyadari lebih banyak potensi yang dapat dikembangkan dan berpeluang menciptakan lowongan kerja yang baru.
Seperti adanya desa wisata misalnya, penduduk yang kembali ke desa mengembangkan wisata itu hingga mampu mendapatkan gaji yang dapat dikatakan hampir sama dengan pekerjaan yang mereka lakukan di kota.
Menurut dia pada mulanya para pemuda desa pergi ke kota hanya untuk mengasah bakatnya dan mencari pengalaman baru untuk belajar. Namun, adanya bantuan pemerintah seperti dibukanya SMK atau pelatihan kerja melalui balai-balai di desa mengubah persepsi mereka untuk melihat peluang desa lebih luas.
Ia menambahkan fenomena tersebut harus dimanfaatkan agar pergerakan penduduk berkualitas dapat merata sampai ke tingkat desa. Apalagi dengan adanya prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mana dunia akan memiliki delapan miliar penduduk pada bulan November 2022 mendatang.
Setiap individu yang dimiliki oleh negara harus disiapkan tidak hanya dalam aspek kesehatan sejak masa kanak-kanak melainkan kemampuannya sehingga bisa mengisi setiap kekosongan dalam pemetaan demografi sesuai dengan karakternya masing-masing.
“Makanya harus ada semacam rekayasa teknologi kependudukan, melalui keluarga berkualitas tadi bukan melulu keluarga berencana tapi juga berkualitas,” katanya.
Selain mengembangkan daerah asal, penduduk yang berdaya saing dan berkualitas, penduduk yang produktif dapat mendorong pembangunan bangsa, sehingga beban negara dapat berkurang. Utamanya dalam menghadapi jumlah lansia yang terus meningkat dari 7,59 persen pada tahun 2010 menjadi 9,78 persen pada tahun 2020.
Di sisi lain, negara juga harus membangun kehidupan lansia yang tangguh, mandiri dan bahagia. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah peningkatan status kesehatan penduduk lansia penyediaan infrastruktur yang memadai sesuai kebutuhan lansia, keterampilan penduduk lansia, dan keterbukaan lapangan kerja yang sesuai dengan kondisi lansia.
Ia menekankan setiap peluang yang ada baik dalam memetik bonus demografi ataupun pengembangan penduduk berkualitas harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Pembangunan kualitas tidak boleh hanya terpaku pada satu kelompok dalam masyarakat, tapi harus secara menyeluruh.
“Kalau prioritas harus ada yang diperhatikan, seperti sekarang ini kan soal stunting, karena itu masa depan anak ke depan. Jadi memang fokus kami ada di situ, tapi jangan lupakan selain usia produktif harus ditingkatkan kualitasnya, yang menuju lansia juga harus disiapkan, supaya mereka menjadi lansia tangguh,” demikian Bonivasius Prasetya Ichtiarto.
Baca juga: BKKBN sebut dua juta balita miliki bakat stunting selama pandemi
Baca juga: BKKBN: Capaian layanan posyandu rendah di masa pandemi COVID-19
Baca juga: BKKBN prediksi baby boom 500 ribu kehamilan di Indonesia saat pandemi
Baca juga: COVID-19 dikhawatirkan BKKBN berdampak lahirkan SDM kurang berkualitas
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022