Makanan tambahan seperti biskuit dan susu yang kaya gizi sebagai MPASI yang sangat dibutuhkan oleh balita-balita yang terkena kekerdilan, juga belum sampai ke tiap-tiap keluarga hingga bulan Juli 2021
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membeberkan masalah rendahnya penyerapan anggaran Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB) di daerah dan belum terealisasikannya pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) memperlambat turunnya angka prevalensi kekerdilan pada anak (stunting).
“Seperti di Kabupaten Nias Utara, tadinya penyerapan hanya lima persen, namun setelah kita intens berkomunikasi, dua minggu kemudian penyerapan anggarannya menjadi 34 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan rendahnya penyerapan anggaran BOKB untuk mempercepat penurunan prevalensi kekerdilan terjadi di sejumlah pemerintah kabupaten/kota.
Menurut data yang dimiliki oleh BKKBN, penyerapan anggaran BOKB oleh pemerintah kabupaten/kota hingga bulan Juli 2022 rata-rata hanya enam persen. Sehingga dibutuhkan dorongan dari pemerintah pusat agar anggaran lebih cepat digunakan.
Selanjutnya, makanan tambahan seperti biskuit dan susu yang kaya gizi sebagai MPASI yang sangat dibutuhkan oleh balita-balita yang terkena kekerdilan, juga belum sampai ke tiap-tiap keluarga hingga bulan Juli 2021
Koordinator Kesehatan Maternal dan Neonatal Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan Nida Rohmawati mengatakan pemberian makanan tambahan berupa MPASI bagi balita stunting telah dianggarkan Rp300 miliar.
Dari anggaran tersebut, makanan tambahan akan dibagi menjadi dua kategori yakni makanan tambahan lokal senilai Rp150 miliar dan makanan tambahan pabrikan senilai Rp150 miliar. Namun, tender untuk pengadaan makanan tersebut masih dalam proses.
Nida turut menambahkan, masalah terkait data persentase stunting yang kerap menimbulkan persoalan di daerah-daerah, terjadi karena data yang digunakan adalah Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021.
Nantinya, pemerintah akan melakukan perbaikan dan penambahan sampel pada pendataan prevalensi stunting pada 2022 sehingga akan mengurangi nilai kesalahan (error). Pada 2021, pendataan prevalensi stunting menggunakan sampel di yang dibagi dalam 15 ribu blok sensus, serta 150 ribu rumah tangga balita.
Sedangkan pada 2022, sampel pendataan ditingkatkan menjadi 34 provinsi, 514 kabupaten/kota, 34.500 blok sensus, serta 345 ribu rumah tangga balita.
“Survey prevalensi stunting sudah dimulai dan dengan adanya penambahan sampel ini, maka error untuk hasilnya akan diminimalisasi,” demikian Nida Rohmawati .
Baca juga: Kepala BKKBN: Gunakan maksimal dana BOKB untuk ciptakan SDM unggul
Baca juga: Pentingnya strategi pemberian MPASI yang baik guna cegah stunting
Baca juga: Pakar IPB University: Cegah stunting dengan optimalkan fungsi keluarga
Baca juga: Pentingnya nutrisi pada 1.000 hari pertama kehidupan
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022