• Beranda
  • Berita
  • BKKBN: Kompleksitas KB di desa dan kota tak bisa disamaratakan

BKKBN: Kompleksitas KB di desa dan kota tak bisa disamaratakan

2 Agustus 2022 21:16 WIB
BKKBN: Kompleksitas KB di desa dan kota tak bisa disamaratakan
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat ditemui ANTARA dalam Peringatan Hari Kependudukan Dunia 2022 di Jakarta, Senin (11/7/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa kompleksnya masalah penggunaan KB di desa dan kota tidak bisa disamaratakan, karena adanya perbedaan kondisi penduduk.

“Dua-duanya sama, sama-sama harus diperhatikan, karena punya permasalahan kompleks yang berbeda-beda, dengan penyelesaian solusi yang beda-beda juga,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa.

Kompleksnya masalah KB di kota, terjadi karena akses informasi berbagai hal sudah terbuka dengan sangat luas. Boni mengaku hal itu menyebabkan masyarakat, terutama generasi milenial merasa memiliki pilihan sendiri atas dirinya, sesuai dengan informasi yang didapatkan.

Baca juga: BKKBN turunkan 200.000 tim pendamping keluarga layani peserta KB

Kesadaran akan hak-hak individu itu, kemudian memicu sikap individualisme yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi pemerintah untuk memberikan petunjuk atau arahan terkait dengan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi.

Padahal, tingkat pergaulan atau seks bebas di perkotaan cenderung lebih tinggi. Akibatnya, banyak kehamilan yang tidak diinginkan terjadi pada banyak perempuan, ditambah adanya kasus yang terkait dengan pemerkosaan. “Kita harus melihat berbagai sisi, tidak bisa hanya satu sisi saja,” ujar dia.

Sementara itu, kompleksnya masalah KB di desa, banyak terjadi karena tingginya perkawinan yang dilakukan pada anak di usia 15-19 tahun.

Masih lekatnya anggapan banyak anak, banyak rezeki dan keengganan suami memberikan izin dalam menentukan boleh tidaknya ibu mengikuti program KB membuat sosialisasi menjadi semakin rumit.

Apalagi, budaya patriarki atau dominasi laki-laki dalam menentukan waktu dan jumlah kehamilan ibu masih mengakar kuat dalam budaya di sejumlah wilayah Indonesia.

“Jadi, kalau permasalahan di desa itu lebih pada masalah properti, sumber daya manusia harus ditingkatkan lagi. Kalau di kota masalahnya sudah sendiri, sudah punya ilmunya. Jadi, saking pintarnya, susah diberi masukan,” ucap Boni.

Baca juga: BKKBN beri NIB untuk tingkatkan ekonomi keluarga akseptor KB

Dengan demikian, BKKBN menggunakan pendekatan dengan tokoh masyarakat yang dianggap kekinian, seperti wakil rakyat yang paling menonjol, youtuber atau vlogger untuk memberikan edukasi pada warga perkotaan.

Sementara itu, penggunaan platform media seperti podcast turut diberdayakan dalam menggencarkan sosialisasi, baik kesehatan reproduksi, pola asuh keluarga yang baik hingga riset-riset terkait penyebab terjadinya kematian ibu dan bayi.

Sebab, tokoh agama atau pemerintah dapat dikatakan kurang bisa mendapatkan hati milenial yang cenderung mengikuti figur publik.

Sedangkan pada tingkat desa, Boni mengatakan lebih menggunakan pendekatan budaya seperti penokohan wayang dan lawakan dalam bondres yang meningkatkan rasa familiar pada kondisi masyarakat desa daerah tertentu.

Baca juga: Harganas 2022 momentum tingkatkan layanan KB pasca-persalinan

Baca juga: Kepala BKKBN tegaskan KB perlu partisipasi aktif dari suami

Kolaborasi dengan mitra seperti akademisi lewat Kuliah Kerja Nyata (KKN), sebagai wadah untuk melakukan sosialisasi dan pendampingan pada warga desa.

Boni menekankan pembangunan manusia melalui KB tak bisa hanya fokus pada satu lokasi saja. Semua bagian Indonesia harus menjadi sasaran guna mewujudkan Indonesia Emas 2045.

“Makanya dua-duanya ini memegang peranan penting dalam sumber daya manusia ke depan. Anak milenial yang ada di kota-kota besar ke depannya akan jadi masa depan bangsa juga, kalau di desanya berkembang, remaja desa juga akan jadi kekuatan Indonesia,” kata dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022