Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam Disaster Briefing daring di Jakarta, Senin, mengatakan kejadian bencana tersebut, di antaranya banjir tanah, longsor, cuaca ekstre, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Paling dominan lagi itu adalah hidrometeorologi basah, banjir, banjir bandang, dan tanah longsor hampir 90 persen, baru hidrometeorologi kering seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla)," kata Abdul.
Baca juga: Potensi bencana hidrometeorologi meningkat pada Juli-September
Selain itu, Abdul memaparkan sejumlah daerah menjadi titik panas bencana di Indonesia, seperti Provinsi Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, karena frekuensi terjadinya bencana di wilayah tersebut terhitung paling sering.
Abdul mengatakan jika di daerah-daerah tersebut dapat ditekan kejadian bencananya sebesar 50 persen, dapat mengurangi angka bencana nasional sebesar 15-25 persen.
"Sangat dominan efek dari tujuh provinsi ini terhadap pengurangan kejadian bencana dan risikonya di Indonesia," kata dia.
Abdul mengatakan dalam lima tahun terakhir, tahun 2020 dan 2021 kejadian bencana terhitung paling banyak, karena adanya fenomena La Nina yang membawa peningkatan frekuensi kejadian hujan, baik itu curah hujannya maupun seberapa sering hujan terjadi di wilayah Indonesia.
Baca juga: Mensos minta masyarakat waspada ancaman bencana hidrometeorologi
Baca juga: BNPB: Indonesia alami 1.137 kali kejadian bencana hingga Maret 2022
Hal itu menyebabkan banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrem naik sangat signifikan. Selain itu, masalah pengungsian korban bencana juga menjadi hal yang diperhatikan, karena masih dalam situasi pandemi COVID-19.
Namun, pada 2022, seiring berkurangnya pengaruh La Nina, pada Februari dan Maret ada penurunan intensitas dan curah hujan.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022