• Beranda
  • Berita
  • Rawat inap PPOK di Jepang turun setelah tembakau alternatif hadir

Rawat inap PPOK di Jepang turun setelah tembakau alternatif hadir

17 Agustus 2022 12:51 WIB
Rawat inap PPOK di Jepang turun setelah tembakau alternatif hadir
Berbagai jenis produk tembakau alternatif. REUTERS/Arriana Mclymore
Angka rawat inap akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), eksaserbasi (perburukan gejala) PPOK, dan penyakit jantung iskemik (IHD) di Jepang mengalami penurunan setelah hadirnya produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product/HTP).

“Rata-rata jumlah rawat inap karena PPOK sebesar 1,93 persen dari total rawat inap, dengan tren fluktuatif mulai dari 1,83 persen pada tahun 2013 menjadi 2,08 persen pada 2016, kemudian menurun menjadi 1,82 persen pada 2019,” ujar para peneliti seperti dikutip dari penerbit artikel ilmiah dan platform sains terbuka Frontiers, pada Rabu.

Penelitian yang dilakukan oleh Angela van der Plas, Meagan Antunes, Alba Romero-Kauss, Matthew Hankis, dan Annie Heremans itu mencatat bahwa jumlah rawat inap akibat PPOK mengalami penurunan sebesar 0,1 persen-0,2 persen jika dibandingkan dengan waktu sebelum pengenalan produk tembakau yang dipanaskan.

Baca juga: Atasi jumlah perokok, produk alternatif butuh dukungan pemerintah

Melansir data Japan Medical Data Center (JMDC) sebagai penyedia layanan data statistik medis Jepang pada Rabu, sebelumnya jumlah rawat inap mengalami peningkatan dari 53.481 pada 2010 menjadi 450.761 pada 2019.

Rata-rata peningkatan tertinggi terjadi pada 2012 ke 2013 sebesar 48,98 persen, 2011 ke 2012 sebesar 43,01 persen, dan 2014 ke 2015 sebesar 39,44 persen. Setelah 2015, rata-rata peningkatan rawat inap ada di angka 17,05 persen.

Penelitian jangka panjang tersebut dilakukan terhadap orang dewasa berusia 20-74 tahun dengan waktu rawat inap pada Januari 2010 hingga Desember 2019. Penelitian dijalankan pada lima tahun sebelum dan empat tahun sesudah produk tembakau yang dipanaskan pertama kali dikenalkan di Jepang.

Sementara itu, angka rawat inap karena eksaserbasi PPOK ditambah infeksi saluran pernapasan bawah atau lower respiratory tract infections (LRTI) tercatat mengalami peningkatan dari 0,4 persen pada 2013 dan menjadi 0,48 persen di dua tahun berikutnya.

Kemudian, pada 2019 menurun menjadi 0,41 persen dengan rata-rata 0,43 persen. Adapun, rata-rata tren rawat inap karena penyakit jantung iskemik juga turun dari 4,49 persen pada 2016 menjadi 4,02 persen pada 2019.

Dari data di atas, bisa dilihat bahwa kendati jumlah rawat inap secara keseluruhan mengalami peningkatan, tetapi jumlah rawat inap karena PPOK, eksaserbasi PPOK, dan penyakit jantung iskemik malah mengalami tren sebaliknya setelah produk tembakau yang dipanaskan hadir di Jepang.

Analisis tren rawat inap ini dilakukan dengan tujuan mereplikasi analisis Real-World Data (RWD) yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis RWD ini menilai dampak kehadiran produk tembakau yang dipanaskan ke pasar Jepang dengan menggunakan data dari Medical Data Vision (MDV), sebuah penyedia data kesehatan di Jepang.

Pasca-penelitian di Jepang, para peneliti menyarankan agar riset serupa dilakukan di negara-negara lain, di mana produk tembakau yang dipanaskan tersedia dan dimanfaatkan. Dengan demikian, data epidemiologi jangka panjang bisa tersedia.

Data itu bisa menjadi sumber referensi penting bagi negara-negara di dunia dalam menyikapi kehadiran produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan.

Baca juga: PDPI: Revisi PP 109/2012 untuk tekan korban perilaku merokok

Baca juga: Organisasi profesi kesehatan nyatakan dukung revisi PP 109/2012

Baca juga: Menggugat kejayaan petani tembakau Madura

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022