"Rumah tangga dan orang tua adalah tempat pendidikan utama yang dilalui anak dalam proses tumbuh kembang," ucap Prof Sagaf, di Palu, Sulteng, Jumat.
Pernyataan Prof Sagaf S Pettalongi terkait dengan pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo yang mengatakan bahwa angka perceraian semakin meningkat telah memunculkan fenomena banyaknya janda usia sekolah (JUS) pada remaja Indonesia.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BKKBN, pada tahun 2015 angka perceraian di Indonesia sebanyak 350 ribu kasus. Kemudian pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 450 ribu kasus. Sayangnya, dari dua juta lebih pasangan yang menikah dan tercatat secara resmi di pemerintah, angka perceraian di tahun 2021 melonjak menjadi 580 ribu kasus.
Baca juga: Ratusan kasus perceraian di Baturaja Sumsel didominasi faktor ekonomi
Baca juga: Kasus ASN perempuan di Pemkot Padang yang gugat cerai suami meningkat
Perceraian JUS yang terjadi dalam keluarga, disebabkan oleh adanya sebuah hubungan toksik, di mana pasangan muda tidak dapat mencapai suatu kesepakatan bersama yang berujung pada pertengkaran.
Pertengkaran itu sendiri merupakan dampak dari tidak siapnya pasangan dalam membangun sebuah keluarga. BKKBN menyebut ketidaksiapan itu terjadi karena adanya perkawinan dini dan gangguan mental emosional (emotional mental disorder) yang diderita pada masa remaja.
Akibatnya, banyak perempuan yang terlanjut memiliki anak dan menjadi janda pada usia muda, dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, yakni berada di batas ekonomi miskin dan pendidikannya yang rendah.
BKKBN mencatat setiap 1.000 perempuan, yang sudah pernah hamil dan melahirkan di usia 15 sampai 19 tahun dan di setiap 1.000, kurang lebih terjadi 20 perceraian.
Sagaf yang merupakan Rektor UIN Datokarama Palu mengemukakan pernikahan di usia dini atau usia sekolah, lebih cenderung memberikan dampak negatif pada remaja Indonesia.
Di antaranya, terkait dengan kemiskinan atau rentan miskin, dikarenakan belum memiliki kemapanan hidup dari sisi pekerjaan, dikarenakan minim pengetahuan dan keterampilan.
Selain itu, dapat berkontribusi terhadap stunting (kekerdilan), disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang pengasuhan anak dan pemenuhan gizi.
"Dan, yang paling berbahaya jika menikah di usia sekolah adalah bisa berdampak pada kematian ibu hamil saat melahirkan," ujarnya.
Oleh karena itu, orang tua harus memberikan edukasi, harus membimbing, minimal mengontrol pergaulan anak, remaja, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dinginkan, kata Sagaf yang juga Waketum MUI Sulteng.*
Baca juga: Pengadilan Agama Bukittinggi mencatat 471 kasus perceraian pada 2021
Baca juga: Masa pandemi, Pengadilan Agama Palembang tangani 1.666 perkara cerai
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022